27

3.4K 205 3
                                    

Alan mengesah panjang. Menyenderkan punggungnya ke sofa kemudian memijat pelipisnya. Beberapa hari ini, otak dan perasaannya tidak bisa disinkronisasi. Otak menginginkan kehidupan tenangnya kembali, tapi perasaan malah mengkhianati.

Niat awalnya, Alan ingin menemui Farah. Menjelaskan fakta dan meminta maaf atas kecerobohannya. Yang berarti sekaligus melanggar janjinya dengan Arya. Alan sudah masa bodoh tadinya. Toh, Arya bukan seseorang yang begitu berpengaruh di hidupnya. Hanya saja, melihat senyum Farah yang tersungging pada Arya ketika keduanya di depan rumah Farah, Alan mengurungkan niatnya.

Dirinya sudah terlampau jauh untuk mendekati Farah lagi. Arya juga sudah telanjur akrab dengan cewek itu. Jadi, Alan tidak bisa mengambil kesempatan apapun kali ini. Ia harus menerima penyesalan karena egonya tempo hari yang tidak mau dikalahkan.

Kalau saja dulu dirinya tidak menerima tantangan Arya, Alan tidak akan semenderita ini karena menjauhi Farah. Sebutan jodoh dan masa depan serta kata-kata manis yang biasanya terujar, sekarang malah tertahan di ujung lidah. Kebiasaan yang dulu membuat Alan ketagihan terpaksa harus dihilangkan. Dan Alan masih tidak rela.

“Lo udah putusin Luna?” Suara Latifah membuat Alan membuka matanya dan menutupnya kembali. Ia terlalu lelah untuk menanggapi manusia lain. Tapi, ini kakaknya. Latifah tidak mungkin tinggal diam karena Alan sudah telanjur terbuka pada kakaknya itu.

“Belum.”

Latifah mengerut heran. Cewek itu duduk di samping Alan. “Kok bisa? Farah gimana? Dia marah sama lo?”

Alan mendengus dan duduk tegak kembali. Perasaan, soal Fisika nomor terakhir tidak pernah sepusing ini bila dicari penyelesaiannya. Tapi, kenapa kalau urusan mengenai perasaan Alan jadi skakmat?

“Gue nggak tau, Kak. Tiap gue mau mutusin Luna rasanya berat,” Alan mulai bercerita, “Gue juga terpaksa harus jauhin Farah karna pertaruhan bodoh gue sama cowok munafik itu.”

Alan membanting punggungnya kembali. Menunduk dalam. Napasnya cepat seolah ada emosi yang menggelegak di dalam rongga dadanya.

Latifah ikut prihatin. Ini pertama kalinya ia melihat Alan senelangsa itu. Ini pertama kalinya juga buat Alan mengalami masalah di luar pelajaran. Pasti berat. Tapi, bukankah sebuah pengalaman bisa mengajari seseorang tuk menjadi dewsa? Bukankah ini salah satu pelajaran yang harus Alan alami untuk langkah selanjutnya?

“Gue harus gimana, Kak?” Alan mengacak rambutnya frustrasi. Ia sudah menguras otaknya memikirkan bagaimana caranya ia terbebas dari tuntuntan masalah yang harus diselesaikan. Tapi, malah egonya yang selama ini menang. Hingga membuatnya harus beranjak lebih jauh dari kebenaran semestinya.

“Sabar,” sahut Latifah membuat Alan semakin geram.

Kata ajaib yang klise. Semua orang tahu kata sabar. Cuma Alan ingin penyelesaian.

“Bisa nggak sih kasih saran yang berguna, Kak?” Alan mendelik. Ia tidak mungkin membentak Latifah yang notabene kakak kandungnya sendiri.

“Orang sering salah pahamin kata sabar ini, Lan. Dan gue yakin orang itu termasuk elo.”

Alan bergeming. Latifah ikut menyandarkan diri ke sofa. Memangku tangan sembari menatap televisi yang dalam keadaan mati.

“Sabar itu menahan diri,” Latifah mulai menjelaskan. “Menahan untuk lo biar nggak gegabah dalam melakukan sesuatu. Menahan diri biar lo bisa memikirkan pemecahannya. Menahan ego lo untuk menang. Menahan emosi lo untuk memutuskan pilihan.”

Ada jeda beberapa saat. Alan tertohok. Jelas, Latifah tahu kalau selama ini Alan menjunjung harga dirinya. Bukan memilih kebahagiaan sejatinya.

“Lo selalu nguatamin gengsi elo, Lan. Luna cuma alat harga diri lo aja. Lo menggunakan Luna cuma sebagai simbol bahwa lo mampu. Bahwa lo menang. Bahwa lo punya nilai lebih. Tapi, itu cuma sesaat. Lo bakalan sadar kalo Luna nggak bisa buat lo bahagia. Luna cuma bisa memenuhi ego lo sebagai cowok. Nyatanya, dia nggak bisa ngelengkapin hati elo, Lan.”

Dermawan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang