16

3.6K 217 10
                                    

“Nih proposal yang lo minta,” ucap Amel ketus sambil melemparkan sebuah lembaran proposal dengan cara yang kasar. Alan yang sedari tadi berkutat dengan laptonya melirik proposal tersebut dan bergantian melihat tajam cewek yang sekarang sedang bersidekap kesal.

“Lo bisa lebih sopan nggak ngasih tuh proposal?” sindir Alan halus, “Gue pikir lo udah belajar sopan santun dari lo orok.”

Amel –si bendahara MPK itu tersenyum sinis. Buat apa harus susah payah untuk berbuat lembut pada cowok yang emosian kayak Alan? Cowok yang cuma punya nama di atas sertifikat saja kok bangga?

“Nggak ada alesan gue buat sopan sama lo.”

Alan berdiri dan menendang kursinya ke belakang. Mengambil proposal di atas meja dan mengangkatnya. “Acara udah selesai dan lo baru ngasih ini ke gue?”

Amel mengedikkan bahunya tidak acuh. “Lagian udah ditandatanganin sama Pak Sutresno. Kenapa lo sewot?”

“Lo mikir nggak sih kerjaan kita nggak sampe di sini aja? Masih ada laporan yang harus dikerjain sama sekretaris dan landasan dananya ada di sini,” Alan mencengkram proposal tersebut, “Lo punya otak nggak sih, Mel?” Alan mulai membentak. Tapi, bukan Amel bila merasa takut. Justru cewek itu malah menatap tajam kedua mata Alan.

“Jangan mentang-mentang lo pinter lo bisa hina gue, Alan!” Amel mulai menyalak balik. Seandainya Amel bukan cewek, Alan sudah membuat Amel terkapar di tanah. Kalau bisa membuat cewek itu tidak bisa sekolah selama sebulan. Tapi, idealis kalau cowok main kasar sama cewek adalah banci, Alan terpaksa menahan nafsunya kembali.

Alan kemudian membanting proposal tersebut ke lantai. “Kasih proposal itu ke Luna. Gue nggak mau punya urusan apa-apa lagi sama elo!” tunjuk Alan lantas berlalu. Bisa-bisa akal sehatnya menghilang jika berlama-lama satu ruangan dengan Amel.

“Lo ada urusan sama anak OSIS?” Alan mendapati Arya sudah berdiri di ambang pintu ruang OSIS. Cowok itu sedang tersenyum ramah seolah telah akrab dengan Alan. Tapi, Alan malah menyambut dengan tatapan laser. Seperti benar-benar ingin membelah tubuh Arya menjadi dua.

“Gue ada perlu sama elo, Lan,” tuhkan Arya sok akrab banget. Memang Alan tidak memahami gelagat Arya yang mencurigakan?

“Perlu apa lo sama gue?” Alan mengangkat dagunya, jumawa.

“Gue rasa ini bukan tempat yang tepat,” Arya menoleh ke dalam ruang OSIS. Mengerti kode dari Arya, Alan mengajaknya lebih jauh dari tempatnya sekarang. Tepat di depan ruang UKS yang kebetulan sudah tutup, Arya dan Alan berdiri.

Alan masih menunggu. Niat apa yang mendorong Arya untuk menemuinya.

“Sebenernya gue nggak suka sama elo, Lan,” ucap Arya begitu santai, ringan seperti kapas. Bahkan wajahnya terulas senyum di sana. Alan keheranan. Arya sedang mengujarkan kebencian atau rasa cinta sih?

“Gue nggak ngerti.”

Arya berbalik memandang lapangan dengan kedua tangannya yang tersampir ke saku celana. “Lo inget gue pernah ngasih coklat ke Farah?” Arya menoleh, “dan lo malah ngambilnya dari dia.”

Arya menarik napasnya dan menatap lurus ke arah lapang. Menahan gejolak yang sedang berusaha meruntuhkan bentengnya. “Lo tau? Di situ gue ngerasa harga diri gue lo injek-injek, Lan. Niatnya gue mau ngasih perhatian sama cewek yang gue suka. Ternyata elo malah ngibarin bendera perang. Apa lo ngerasa?”

“Lo suka sama Farah?” tanya Alan tak mengindahkan penjelasan Arya. Ia tidak peduli telah membuat rendah harga diri Arya. Tapi, yang menjadi inti terpentingnya adalah Arya menyukai Farah. Sahabatnya.

“Iya, gue suka,” sahut Arya santai, “Apa lo keberatan?” ia menoleh.

“Jangan coba deketin Farah,” tukas Alan malah membuat Arya tertawa. Alan mengernyit. Perasaan dia tidak sedang melawak.

Dermawan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang