31

4.5K 218 7
                                    

Alan jongkok di depan Farah yang sedang menunduk. Rok Farah sudah ditetesi oleh air mata cewek itu. Kalau Farah sedang tidak PMS, mungkin dia nggak akan selebay itu untuk menangisi cowok. Farah juga kalau lagi sadar akan berpikir realistis. Alan bukan satu-satunya cowok di dunia. Siapa tahu ketika dewasa nanti Farah ketemu dokter ganteng dan peka. Nggak kayak Alan. Tapi, karena Farah sedang sensitif, makanya, ketika Alan menyakitinya, Farah nangis.

"Maafin gue."

Farah tidak menyahut. Cewek itu terisak sambil beberapa kali mengucek matanya untuk menyeka air mata sialan yang membuatnya terlihat cengeng.

"Jangan dikucek," ucap Alan sambil menahan kedua tangan cewek itu. Farah bergeming. Alan mengeringkan kedua pipi Farah yang kerap membuatnya gemas.

"Gue belum selesaiin ucapan gue tadi."

Farah mulai mengangkat kepalanya dan menatap dalam kedua iris Alan.

"Lo sahabat gue," ada jeda beberapa saat, "dan gue berharap melebihi itu."

Farah memandang Alan penuh kebingungan meski isakkan masih keluar dari mulutnya. Alan terkekeh melihat ketidaksinkronan itu.

"Gue mau lo jadi pacar gue, Far."

Farah mengangkat kedua ujung bibirnya. Namun, cepat-cepat ia tahan. Farah nggak mau menunjukkan kebahagiaannya secara terang-terangan. Masih ada keraguan terselip di dalam hati cewek itu. Pun, terbesit ingin melakukan hal yang sama seperti dulu. Membekap mulut Alan dan pergi detik ini juga. Cuma ada sesuatu yang menahannya. Farah merasakan sebuah harapan dan ketulusan di sana. Tidak ada kesangsian sama sekali. Tidak seperti tempo hari.

"Nggak sudi gue!" sergah Farah melengoskan pandangannya sambil melipat tangan. "Gue nanti kayak Luna. Malah dijadiin piala buat lo."

Alan terkekeh geli. Kemudian berdiri dan menarik kedua tangan Farah untuk ikut bangkit berhadapan dengannya. "Emang lo kayak Luna? Luna kan banyak yang perebutin. Kalo lo?"

Farah mendorong bahu Alan, tapi tidak mampu membuat cowok itu berpindah. "Sialan, lo! Gini-gini juga gue banyak yang perebutin kali."

"Siapa?" lawan Alan membuat Farah gugup. "Mantan lo yang pertama? Atau yang terakhir alias si adik kelas tukang tebar pesona itu?"

"Apaan lo hina-hina Rei? Gitu-gitu juga dia mantan gue kali."

Alan menggeleng dan menggenggam kedua tangan Farah yang sempat terlepas. Menatap tajam kedua netra cewek itu yang mulai bengkak karena kebanyakan menangis. Farah seketika ingin ditelan bumi. Napasnya sesak karena tempo debaran jantung yang terasa lebih cepat dan liar.

"Mulai sekarang lo bukan mantan siapa-siapa lagi. Lo cuma pacarnya Alan Dermawan."

"Sejak kapan gue bilang iya?" Farah mencoba melepaskan genggaman Alan, tapi sulit.

"Mulai hari ini dan seterusnya."

"Gue bilang kan gue nggak mau jadi korban lo selanjutnya, Alan." Farah tetap kukuh pada argumentasinya. Walau ada keengganan ketika Farah mengucapkan hal itu. Namun, benar. Farah tidak ingin berharap dan terlalu disakiti.

"Nggak akan, Farah."

"Buktinya?"

"Lo nggak ada yang perebutin, lo bukan tipe cewek yang mudah bikin orang terpesona."

"Ada tuh," sahut Farah cuek. "Arya."

"Cuma satu," jawab Alan enteng. Farah cemberut. Harga dirinya sebagai cewek tertindas. Dia tahu, dia bukan cewek kayak Luna. Sekali lewat semua mata tertuju pada Luna. Farah mana ada yang merhatiin. Paling Pak Satpam kalau gerbang memang sengaja disabotase oleh Farah.

Dermawan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang