12

3.6K 231 3
                                    

“Ibu absen dulu ya,” ucap Bu Imas seusai mengucapkan salam dan membuka kelas matematika di pagi hari. Antara sebuah mukjizat atau sebuah musibah. Matematika diletakkan di jam setelah upacara. Tapi, yang menjadi mukjizat adalah Bu Imas masuk ke dalam jajaran guru baik. Bukan guru sekategori dengan Bu Susi.

Mungkin bisa dibayangkan ketika semua guru hitungan adalah para shinigami, bisa jadi atau pasti siswanya akan sulit mencerna materi. Karena yang ada hanya uji nyali sepanjang jam pelajaran berlangsung.

“Adi!”

“Alan!”

“Amira!”

“Andre!”

Sewaktu nama Andre tersebut, tidak ada yang mengangkat tangan seperti sebelum-sebelumnya. Bu Imas mengedarkan pandangannya sampai ke sudut kelas. Tapi, belum juga ada yang menyahut.

“Ke mana Andre, Gita?” tanya Bu Imas pada sekretaris kelas. Gita sedikit terperanjat karena dari tadi ia malah asyik ngerumpi sama Nita. Gita lantas membuka buku absen dan teringat sesuatu.

Gita mendongak kembali. “Andre sakit, Bu.”

Bu Imas menurunkan lensa positifnya menatap Gita. “Sakit apa? Ada suratnya?”

“Andre sms sakit gigi, Bu. Suratnya sudah ada di meja piket katanya.”

Bu Imas mengangguk dan melanjutkan absennya.

Di sisi lain, Farah yang mendengar alasan itu berdecak. “Sakit gigi aja manja banget.”

Tamara menoleh mendengar gerutuan Farah. “Lo kayak yang nggak suka banget sama si Andre.”

Farah mengacungkan tangan ketika namanya disebut dan menurunkannya kembali lalu mendekat ke arah Tamara. “Lo tau? Si Andre sering melebih-lebihkan sesuatu. Waktu disuruh kerkom aja alesannya bejibun. Jadi, menurut gue itu cuma alesan aja, Mar.”

Tamara memutar bola matanya jengah. “Jangan asal ngomong, Far. Siapa tau dia emang beneran sakit.”

Alih-alih kesal, Farah malah menyeringai sambil menunjuk Tamara. “Lo suka ya sama Andre?”

Bibir Tamara seketika berkedut. Kesal. Maunya belajar bijak, malah dituduh yang tidak-tidak. Dasar Farah! Mentang-mentang cewek itu korban bully Tamara, bukan berarti Farah jadi jago mencela Tamara.

“Sebelum gue jawab, urus dulu noh hubungan lo sama Alan.”

Farah alhasil cemberut. Niatnya mau membully malah disindir balik. Sudahlah, Farah memang tidak pintar menyudutkan orang.

**

“Lan! Ada yang nyari lo nih!” teriak Arif ketika menggendong tasnya dan berlalu untuk pulang. Bahkan ketika Alan ingin bertanya siapa, cowok itu sudah menghilang di ambang pintu. Dengan rusuh, Alan membereskan buku-bukunya dan dimasukkan ke dalam tas.

Ia menengok ke belakang dan mendapati Farah masih rumpi cantik ngomongin kelompok. Alan yang memang tidak satu kelompok, duluan ke luar kelas dan memutuskan untuk menunggu Farah.

“L-Luna?” Mata Alan melebar dan menatap kaget cewek yang baru saja menengok ke arahnya. Dengan senyum khasnya yang bikin diabetes, Luna melambaikan tangannya.

“Lo udah ke Bu Rina?”

Alan kemudian menetralkan kembali raut wajahnya, meski ada keengganan yang masih tersirat di sana. “Oh, buat ngambil uang sama medali ya?”

Luna mengangguk.

“Udah kok! Tadi gue ngambil waktu istirahat.”

Ekspresi wajah Luna serta-merta menjadi sendu. Niatnya ingin mengajak Alan bersama untuk ke ruang guru. Tapi, ternyata Luna sudah kecolongan. “Gue kira kita bisa barengan ngambilnya,” ucap Luna dengan senyum hambarnya.

Dermawan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang