Alan nggak tahu kesambet apa bisa sampai di depan rumah Farah seshubuh ini. Padahal ayam saja belum berkokok dan matahari pun masih menyembul sedikit dari peraduan. Bersama balutan seragamnya, Alan menatap nyalang rumah familier itu.
Setelah lima menit turun dari motornya, Alan berdiri. Tidak berani melanjutkan niatnya. Tapi, sayang waktu juga. Apalagi sehabis ini ia harus datang ke tempat perlombaan. Jadi, Alan tidak boleh membuang-buang waktu.
Dengan tekad yang tinggal secuil, Alan menggerakkan kakinya. Membuka gerbang rumah Farah dan menuju rumah utama.
Kondisi bangunan berlantai dua itu masih terbilang sepi. Hawa sejuk dari pepohonan yang dirawat Umi Farah memberi kesan sejuk dan perlahan menenangkan pikiran Alan.
Cowok itu menghela napasnya sambil menatap pintu kembar di depannya. Lantas Alan menekan bel rumah sekali. Selang beberapa detik, Alan menekannya kembali. Tidak ingin dibilang biang rusuh, Alan menunggu beberapa menit. Dan membunyikan belnya kembali.
Hingga suara kunci pintu membuat jantung Alan semakin terusik. Rasanya Alan mau kabur saja. Mengurungkan niatnya untuk bertemu Farah. Tapi, sudah kepalang tanggung. Kalau mau kabur padahal dari tadi saja. Nggak usah sok kuat, kalau akhirnya nyali Alan ciut.
“Assalamualaikum, Umi,” ucap Alan sambil mencium tangan Umi Farah.
Wanita setengah baya itu masih mengenakkan mukenanya. Pasti Alan sudah mengganggu waktu beribadah Umi. Ah, tapi Alan berusaha nggak tahu apa-apa.“Waalaikumsalam. Ada apa kamu ke sini? Bukannya sekolah libur ya?” Umi menatap setelan Alan yang cowok itu gunakan. Alan mengulas senyumnya berusaha menutupi kecanggungan yang tiba-tiba melandanya.
“Alan mau lomba, Umi.”
“Oh gitu. Trus untuk apa ke sini? Alan lomba bareng Farah?”
Alan menggeleng dan membuat Umi mengerutkan dahinya.
“Alan mau minta doa sama Umi trus sekalian mau ngobrol sama Farah sebentar.” Setengah kejujuran dan setengah lagi rayuan. Itulah trik Alan untuk mengambil hati Umi. Soalnya nggak enak. Pagi-pagi udah ganggu rumah orang.
“Farahnya masih tidur,” jawab Umi, “Dia kan lagi nggak solat, Nak.”
Alan mengangguk paham. “Gapapa, Umi. Biar Alan yang bangunin.”
“Emang harus sekarang? Nggak bisa waktu kamu udah pulang? Susah lo bangunin Farah,” ucap Umi persuasif.
Alan hanya terkekeh mengetahui fakta yang sudah ia ketahui setelah mengenal Farah setahun ini. Tapi, Alan yang memang tidak mau usahanya sia-sia tetap bersikeras. Dan Umi pun akhirnya mengalah dan membiarkan Alan untuk menuju kamar gadisnya itu.
Setelah sampai di depan pintu kamar Farah yang terkunci, Alan mengetuk-ngetuk kamar cewek itu. Lima menit, benar-benar tidak ada sahutan dari dalam. Tidak ada pilihan lain. Alan tahu pasti Farah sudah setengah bangun. Jadi, Alan akan mencoba menggedor kamar Farah lebih keras. Tidak peduli jika Umi Farah marah. Alan tidak punya waktu banyak.
Baru sekali menggedor dengan keras, suara teriakkan membuat Alan tersentak.“UMI!!! FARAH MASIH NGANTUK!”
Alan mengelus dadanya. Meski di dalam kamar, suara Farah berhasil menukik telinganya hingga berdengung. Kayaknya Farah pantes buat jadi pemimpin upacara suatu saat nanti.
Tidak ada pergerakan sama sekali, Alan mencoba mengetuk pintu Kamar itu lebih keras dan terus-menerus. Hingga terdengar suara gerutuan dan kunci terbuka. Alan memundurkan tubuhnya dan melihat Farah bersama wajahnya setannya.
Anjir ini Farah?
Farah memelotot dan Alan melongo aneh. Rambut acak-acakkan dan mata sembab. Belum lagi iler yang terpampang nyata di sudut bibir Farah. Benar-benar mengerikan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dermawan [COMPLETED]
Ficção AdolescenteFarah baper duluan ketika Alan terus saja menyapanya dengan panggilan jodoh. Belum lagi godaan-godaan cowok itu yang kadang bikin teman sekelas berpikir mereka punya hubungan spesial. Padahal, Farah yakin, Alan tidak pernah menyatakan suka padanya...