23

3.3K 201 5
                                    

Latifah bersiul sambil menyusuri kesunyian rumahnya. Ia baru reuni bareng teman SMAnya. Jadi, baru sore hari ia pulang kembali. Hendak ke dalam kamar, Latifah mendadak penasaran pada keadaan kamar di sebelahnya. Di sana, pintu terbuka sedikit, menciptakan celah kecil memancing sifat kekepoan dari Latifah.

Ia mengintip dan mendorong pintu tersebut. Terlihat adiknya sedang menatap meja belajar. Tidak seperti biasanya, Alan diam. Padahal cowok itu punya tingkat sensitifitas yang tinggi. Sekali merasakan aura manusia lain, pasti langsung menyalak. Namun, sekarang cowok itu seolah tidak menyadari eksistensi Latifah.

Hendak mengejutkan Alan, Latifah dikagetkan oleh suara cowok itu.  “Gue tau lo di sana, Kak.”

Latifah menghela napas. Ternyata, adiknya itu masih punya radar yang tinggi.

“Lo kenapa? Nggak biasanya,” sahut Latifah sambil duduk di atas ranjang Alan. Cewek itu menatap sekeliling kamar Alan yang memang tidak memiliki perubahan spesifik sejak ia terakhir kemari.

“Gue...,” Alan mengesah, “gapapa,” lanjutnya sambil menatap coretan di atas buku tulisnya.

“Ya kali gue percaya sedangkan lo kayak yang mau mati besok aja.”

“Kalo bisa gue mending mati aja,” jawab Alan santai dan mendapat timpukkan bantal dari Latifah.

“Ngomong tuh ya! Disaring dulu, Lan! Emang mati itu enak apa?!” Latifah balas berteriak. Ia tidak suka kalau orang-orang membicarakan kematian. Emang mati itu enak? Masalah sih selesai. Tapi, pertanggungjawabannya pada Tuhan juga harus dipikirkan.

“Lo ada masalah apa sih? Sampe putus asa gitu?” Latifah mulai kepo. Alan sejenak terdiam. Seperti mempertimbangkan antara curhat atau mending bilang gapapa lagi. Tapi, ia juga butuh pencerahan. Namun, gengsinya juga setinggi langit. Apalagi Alan tidak pernah bicara soal pribadi sama Latifah. Bukan Latifah yang nggak perhatian. Melainkan Alanlah yang sedikit menjaga jarak.

“Ini soal Farah, Kak,” jawab Alan akhirnya. Latifah mengerut bingung menatap punggung adiknya tersebut.

“Kenapa? Dia PMS? Trus marah sama elo?”

Alan menggeleng, “kalo marah pun, gue nggak akan sebingung ini.”

“Ohiya. Lo kan udah tahan banting.” Latifah nyengir.

Alan kemudian memutar posisi duduknya. Menghadap sandaran kursi kayunya. “Gue harus gimana ya, Kak?”

Latifah memutar bola matanya. Lucu, tapi nggak mau ketawa. Belum cerita apa-apa sudah minta saran. Memangnya Latifah peramal? Meski Latifah kuliah di Amerika pun, nggak menjamin kalau dirinya bisa membaca pikiran orang lain.

Cewek itu lalu menarik napasnya, “Lo naik ke apartemen, trus naik lift sampe lantai atas, trus lo loncat dari sana sampe tempat parkir.”

Alan bingung, “Ngapain?”

“Ya biar otak lo keluarlah! Jadi gue bisa tau isi pikiran lo!” Latifah memelotot. Alan mendengus kesal. Padahal sudah ada niatan untuk terbuka malah dibuat bergurau. Bukannya Latifah sudah tahu kalau Alan sejenis manusia yang  tidak bisa diajak bercanda?

“Gue serius!" tukas Alan.

“Gue lebih serius!” Latifah membalas lebih galak.

“Gue lagi nggak mau bercanda, Kak.”

“Emang kapan lo bercanda?” Alan terdiam. Kalah telak karena ucapan Latifah benar adanya.

“Udahlah gue nggak jadi nyerita.”

Latifah seketika kelimpungan, “E-eh jangan gitu dong! Gue kan gereget. Lo tiba-tiba nanya. Ya kali gue turunan Mama Laurent.”

Alan mengulum bibirnya. Sadar, kalau dirinya yang salah dan menyalahkan Latifah. Tapi, gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui kekalahan.

Dermawan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang