19

3.3K 219 17
                                    

“Habis ini lo mau ke mana?” tanya Alan seusai meninggalkan area perlombaan dan menemui Pepero.

Grup itu sedang merayakan kemenangannya karena menyambet juara dua. Farah yang mengerti kalau ia hanya orang luar, lantas menarik Alan untuk pulang. Lagian cewek itu kesal karena dihujat habis-habisan lantaran dituduh pacaran dengan Alan. Walaupun ya... Farah menikmati hal itu.

“Mau baliklah. Emang mau ke mana lagi?”

Alan lalu berdiri di depan Farah, menghalangi jalan cewek tersebut. Nyengir lebar membuat Farah menerka kalau cowok itu sedang ada maunya. “Lo lagi ada penginnya kan sama gue?”

“Lo tau aja, Cantik,” Alan mencolek dagu Farah centil. Farah sudah biasa, jadi tidak ada lagi pipi yang bersemu merah. Walau jantungnya lagi-lagi memilih untuk berkhianat.

“Mau apa lo?”

“Makan dulu yuk!” ajak Alan lalu memegang perutnya, “gue laper.”

“Idih! Lo aja sendiri. Gue—“

“Gue traktir deh!”

Sedetik kemudian, Farah mencetak senyumnya merekah. Kali ini, membuat Alan berdebar sekaligus membuat cowok itu sebal. Giliran traktir saja, Farah semangat banget.

Anything for you, Lan,” goda Farah karena dapat rejeki nomplok. Meski agak kesal, Alan bahagia. Setidaknya ia punya waktu berdua bersama Farah. Dan itu sukses menimbulkan reaksi positif pada otaknya.

“Lo kayaknya sering ke sini ya?” Farah membuka suara duluan sewaktu keduanya sudah duduk di salah satu ujung meja. Ia aneh saja, Alan sepertinya lihai sekali ketika masuk kafe yang jelas anak muda banget.

“Iya gue sering ke sini kalo lagi di mall. Gue pesen makanan dulu ya?”

Farah mengangguk dan Alan lekas berlalu. Tiba-tiba Farah teringat. Kenapa Alan tidak menanyai pesanannya ya? Atau Alan sudah tahu kesukaan Farah? Mengetahui Alan ternyata seperhatian itu, Farah senang. Cowok itu ternyata nggak secuek kelihatannya.

Beberapa lama menunggu, Alan datang bersama nampannya. Farah mengernyit heran pada isi nampan yang dibawa Alan. Ada burger dan salad sayur di sana. Ada juga jus stroberi dan mangga. Tidak ada satu pun kesukaan Farah di sana.

“Kok lo mesen ini?” protes Farah, “Gue tau gue cuma ditraktir, Lan. Tapi, kira-kira dong! Gue kan bukan kambing.”

Bibir Farah cemberut. Alan meletakkan salad sayur di depannya. Ternyata Alan bukan cowok romantis kayak yang di tv.

“Lo bukannya—“ Alan menimpuk dahinya. Ia teringat sesuatu. Yang ia pesan adalah favorit Luna kalau datang bersama kemari. Dan secara refleks, Alan memesan makanan favorit Luna bukan untuk Farah.

“Lo ke sini emang sering sama siapa, Lan?” tanya Farah sedikit curiga. Ia masih belum mau makan makanan yang Alan pesan. Ia juga tidak menyukai stroberi. Rasanya aneh, itu kata Farah.

Alan seketika kelimpungan. Farah adalah sahabatnya, pasti dia kepo. Jadi, kalau sudah begini, bagaimana ia harus berdalih?

“Lo nggak nyembunyiin sesuatu dari gue, kan?” tanya Farah hati-hati, “Atau lo sering ke sini bareng pacar lo ya?”

“Nggak!” timpal Alan agak keras. Macam maling yang menolak untuk jujur. Farah tahu, Alan menyembunyikan sesuatu di belakangnya. Pertanyaan terakhir Farah sejujurnya tidak ingin ia suarakan. Cuma ia kepalang ingin tahu. Tapi, ternyata fakta itu lebih menyakitkan bila benar terjadi daripada hanya sekadar dibayangkan saja.

“Nggak usah bohong, Lan. Trus kenapa lo pesenin makanan kambing gini buat gue?”

“I-itu kalo gue sama Kak Latifah, dia suka pesen itu.”

Dermawan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang