“Lo sering-sering datang ke tempat latihan ya, Far. Gue kangen,” Reza merentangkan tangannya minta peluk, tapi tangan Farah yang mendarat untuk menggaplok dahi Reza sadis.
“Biasa kali, Far,” ucap Reza sambil mengusap dahinya. Perih.
“Yaudah kalian hati-hati ya. Gue nggak mau besok ada kabar kalo ada boyband bubar karena anggotanya mati semua,” tawa Farah berderai berbeda dengan anggota Pepero yang menggeram. Dasar cewek! Nggak bisa jaga dikit tuh mulutnya.
“Jangan doain juga, keles. Kalo ada malaikat lewat gimana?” sergah Rizal dengan mata tajamnya. Farah terkekeh dan meminta maaf. Seluruh anggota Pepero pun berlalu bersama motor-motornya menjadikan halaman parkir rumah Farah lengang kembali. Tapi, cuma ada satu motor di sana. Farah berbalik dan si pemilik motor tersebut ternyata sedang berdiri di belakangnya.
“Lo nggak balik?”
“Akhirnya mereke pulang juga,” Alan tak menggubris pertanyaan Farah. Tapi, cewek itu nggak keberatan. Justru yang menjadi keberatannya adalah Alan malah lega ketika keenam cowok tadi pulang.
“Lo seneng?”
Alan mengangkat kedua bahunya. “Biasa aja. Lo kan lagi sakit. Apalagi sakit gigi paling sensitif kalau ada suara gaduh.”
Tak lama, Farah menyeringai. “Lo khawatirin gue ya?”
Alan berdecak. “Dibilangin malah ngeledek. Tau gitu gue nggak akan cape-cape ke sini.”
Sekarang, Falah kelihatan cemberut. Tidak suka kalau Alan sebenarnya menyesal telah menjenguknya. “Iya, maaf. Padahal lo nggak usah ke sini,” ucap Farah merasa bersalah, “lagian elo kan ada persiapan pilketos. Jadi, sibuk banget ya?”
Alan masuk ke dalam rumah dan dibuntuti oleh Farah. Cowok itu melemparkan bokongnya ke sofa tunggal. “Tugas gue udah dihandle sama bagian HUMAS lain. Lagian gue banyaknya kerja di hari H.”
Farah mengangguk dan duduk di atas karpet membelakangi televisi.
“Lo besok mau sekolah?” tanya Alan sambil mengulurkan tangannya mengambil sisa-sisa camilan dari dalam toples.
“Nggak tau. Tergantung. Sakit gue sembuhnya kapan,” sahut Farah lesu, “Emang kenapa? Lagian enak di rumah. Nggak usah mikir-mikir buat belajar.”
Alan menimpuk kepala Farah dengan koran yang ia ambil dari bawah meja. “Jaga tuh mulut. Gue kagak mau disebut jomblo.”
“Idih, nggak ada hubungannya.”
“Lo kan istri dari anak-anak gue,” goda Alan membuat Farah merapatkan rahangnya, tidak peduli jika sakit giginya makin sakit.
“Bisa tutup mulut lo itu nggak, Pak?”
Alan tergelak. Farah terlihat sebal, namun lagi-lagi merah pipinya tak pernah luput dari mata Alan.
**
Hari ini hari Jum’at. Hari yang ditunggu SMA Pergerakan Baru. Karena setelah hari Jum’at itu hari Sabtu, yang berarti mereka libur. Tapi, suasana sekolah itu sekarang berbeda. Lapangan cukup ramai oleh pergerakan anak MPK dalam mempersiapkan pemilihan Ketua OSIS. Sedangkan, anak-anak selain MPK dan OSIS, belajar seperti biasa.
Setiap kelas akan bergiliran digiring ke lapangan dan mengantre untuk mengambil kertas suara lalu memilih salah satu calon ketua OSIS di salah satu bilik suara. Orasi dalam menyampaikan visi-misi sudah dilakukan kemarin. Jadi, tinggal hari ini seluruh siswa memberikan pilihan terbaiknya.
“Gue kagak tau siapa aja yang jadi calonnya, Mar,” ucap Farah seusai salah satu perwakilan MPK keluar untuk memberitahu untuk mempersiapkan diri. Dan Arif ditunjuk sebagai pengordinirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dermawan [COMPLETED]
Teen FictionFarah baper duluan ketika Alan terus saja menyapanya dengan panggilan jodoh. Belum lagi godaan-godaan cowok itu yang kadang bikin teman sekelas berpikir mereka punya hubungan spesial. Padahal, Farah yakin, Alan tidak pernah menyatakan suka padanya...