Dua Cara

14K 1.6K 16
                                    

Tok
Tok
Tok

Pintu di ketuk tiga kali.

Dari balik laptop aku berujar tanpa menoleh dari layar. "Masuk."

Suara pintu dibuka dari luar. Lalu suara langkah kaki berjalan meragu.

"Pak Aksa manggil Ais?"

Aku mengalihkan mata dari layar laptop ke office girl yang saat ini berdiri sekira 2 langkah dari meja kerjaku.

"Ais," sapaku datar.

"Iya, Pak," balas perempuan mungil. Tingginya sekira 155cm. Kurus. Berkulit kuning langsat. Hidung mungil. Bibir tipis. Rambut hitam panjang sepunggung diikat ke belakang.

Dengan celana katun panjang berwarna hitam dan kemeja lengan pendek warna hijau-putih, seragam GHI, Ais terlihat gelisah.

"Ada apa, Pak? Bapak teh mau pesen makan?"

Aku menggeleng. Masih dengan wajah serius terus mengamati gadis muda di hadapanku ini.

Lama-lama Ais mulai mengerutkan bibir dan hidungnya.

"Kenapa kamu?"

"Bingung saya mah. Kenapa Bapak diem aja di situ. Ngeliatin saya. Emang kenapa? Ada yang salah?"

Ais lalu melihat ke bawah memperhatikan pakaiannya.

Aku menghela nafas.

"Ais, duduk."

Ais mengangkat kepala menatapku lalu mengangguk. Kemudian menuruti perintahku.

"Ada apa, Pak?" tanyanya sedetik setelah duduk di salah satu kursi di depan mejaku.

"Saya dengar kamu mau nikah?"

Ais kembali mengerutkan bibir dan hidungnya.

"Kenapa? Mau nikah kok kayak gak seneng gitu?"

Ais menghela nafas panjang sebelum mengangkat bahunya.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Nasib," jawabnya dengan nada memelas.

Keningku berkerut.

"Nasib?"

Ais mengangguk.

"Jadi, maksud Bapak manggil saya kenapa ya? Memangnya kalau saya menikah, tidak boleh kerja lagi di sini atau gimana ya, Pak."

Aku menggeleng. "Umm, bukan begitu. Saya cuma mau mengkonfirmasi saja kabar yang saya dengar ini. Umur kamu 18 tahun kan?"

Ais menatapku bingung. Matanya menyipit. Keningnya berkerut.

"Iyah. 18 tahun. Bapak umurnya berapa?"

Aku tertawa menanggapi pertanyaan lugunya.

"Gak masalah umur saya berapa. Kita sekarang bukan bahas umur saya, tapi kamu. Apa kamu tidak terlalu muda untuk menikah? Apalagi saya dengar calon suami kamu usianya 50 tahunan."

"Tepatnya 58 tahun, Pak. Sekali lagi...ini nasib saya, Pak."

"Nasib?"

"Nasib."

Hening.

Aku menunggu penjelasan selanjutnya. Tapi nihil.

Ais melihat ke sekeliling ruang, menghindari pandangan mataku yang tertuju padanya. Mungkin juga menghindari untuk memberi penjelasan lebih.

"Ehem," aku berdehem.

Mata Ais kembali menatapku.

"Iya, Pak?"

Untuk beberapa saat aku masih menatapnya. Berharap Ais mengerti mauku, menceritakan masalahnya.

Alih-alih, matanya kembali meliar ke sekeliling ruang.

"Aisyahhh," kataku sambil menggeleng.

Matanya kembali menatapku.

"Siap, Pak."

Aku menghela nafas sebelum kembali bicara.

"Saya tahu, itu urusan pribadi kamu. Saya tidak berhak ikut campur. Tapi... dari sedikit yang saya dengar, pernikahan itu tidak lazim. Saya hanya... membuka peluang, jalan buat kamu... siapa tahu saya bisa nolong."

Keningnya berkerut.

"Bapak mau nolongin saya?" tanyanya bingung.

"Kalau memungkinkan, kenapa tidak," jawabku setenang mungkin.

Untuk beberapa lama Ais hanya menatapku. Seolah dia ingin membaca rautku. Memastikan kesungguhanku.

Kemudian...

Dia mengangguk. Menutup matanya sesaat lalu menghela nafas panjang. Sebelum kembali menatapku.

"Kalau memang Bapak mau menolong saya, menyelamatkan saya dari pernikahan dengan Ki Somad, saya minta... maksudnya, saya mohon... minta tolong... supaya Bapak kiranya berkenan untuk membantu saya..."

Aku mengangguk.

"Tentu saja Ais. Kita bisa diskusikan solusinya. Saya dengar calon kamu itu rentenir. Saya menduga, ini ada kaitannya dengan masalah utang piutang?" tanyaku berhati-hati.

Ais mengangguk.

"Betul, Pak. Tahun lalu, rumah saya yang sudah lama bocor di sana-sini, runtuh sebagian besar atapnya. Butuh perbaikan minimal atap, dengan segera. Saat itu, saya masih sekolah. Belum kerja. Belum punya penghasilan. Jadi... emak terpaksa minjem ke Ki Somad..."

"Berapa?"

"5 juta."

Aku mengangguk.

"Oke. Perusahaan bisa kasih pinjaman ke kamu untuk melunasi utang itu. Nanti kamu tinggal mengangsur dengan cara potong gaji," saranku berupaya memberi solusi.

Ais menggelengkan kepalanya bertubi-tubi.

"Percuma. Percuma. Percuma."

Hah?

Keningku berkerut.

"Sejak awal, emak berusaha membayar cicilan utang ke Ki Somad dengan teratur. Tapiiii... Ki Somad selalu menaikan bunganya sesuka hati dengan tidak wajar. Jadi, utangnya bukan berkurang malah terus naik. Belakangan kami sadar niatnya... sejak awal emang Ki Somad mau nikahin saya...padahal istrinya sudah 3..."

Aku terus menyimak penjelasan Ais.

"Jadiii... kalau Bapak mau nolongin Ais, ada dua cara. Tapi, tiap cara itu satu kesatuan. Jadi, gak bisa sebagian."

Hah?

Maksudnya apa?

Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang