Spontan aku bangkit meraih pinggangnya lalu mengangkat tubuh mungilnya hingga terbaring di ranjang. Aku memposisikan tubuh di atasnya.
"Mah... jangan denger omongan mereka. Itu omong kosong. Lagian ingat, kita ada perjanjian pranikah. Posisi Mamah aman. Papah gak bakal macem-macem..."
Ais menggigit bibir bawahnya. Raut wajahnya tampak masih meragu.
"Umm... kan gak harus selingkuh Pah. Bisa aja besok-besok Papah berubah pikiran. Terus menceraikan Mamah..."
Aku membelai lembut sisi wajahnya. "Perasaan waktu itu, Mamah deh yang bersikeras kita nikah cuma sementara sampai hutang lunas..." godaku.
Ais menggeleng. "Tapi beda Pah... Mamah mikirnya kita gak nikah betulan. Gak bobo bareng seperti...umm... semalam... terus... tadi subuh...umm..."
Aku terkekeh. Mengerti maksudnya.
"Iya... justru malah lebih baikkan... nikah betulan... kan Mamah bilang itu ibadah. Nah, Papah mau beribadah sebanyak-banyaknya," godaku lagi.
Ais tersipu. Pipinya merona. Matanya menolak menatap mataku. Jari-jarinya mulai mengelus lembut rambut halus di area dadaku.
"Umm... tapi... hati Mamah jadi merasakan sesuatu... jadi... umm... merasa terikat... se...paruh nafas kitu... gimana yah jelasinnya... setelah tadi malam rasanya kita teh beda... lebih merasa memilki..."
"Ya bagus, dong... wajar. Namanya juga suami istri," masih menggodanya, sebelum mengecup lembut kening Ais.
"Tapi justru itu... Mamah teh jadi... takut..."
Keningku berkerut. "Takut apa?"
"Umm takut kehilangan Papah."
Sontak aku tertawa. Tubuhnya kurengkuh dalam dekapan. Kubawa dalam pelukan hingga posisi kami tidur menyamping. Tubuh mungilnya tersembunyi dalam lingkup ragaku.
"Udahhh...santai ajaaa...kita jalani rumah tangga ini sebaik-baiknya. Pernikahan kita memang tidak biasa. Bukan berarti tidak mungkin bisa dijalani dengan baik. Masalah ke depan... pasti ada. Aku pernah menikah. Sedikit banyak tahu... riak konflik dalam perkawinan. Tapi... kamu juga harus tahu... aku bukan lelaki yang mudah menyerah...."
"Bila membuat komitmen...aku teguh menjalaninya sampai... akhir..."
Ais perlahan mendongakkan kepalanya. Wajah diangkat untuk menatapku.
"Umm... Papah sudah berapa lama hidup menduda?"
Aku tersenyum sambil mengusap lembut kepala Ais.
"5 tahun."
"Kenapa Papah bisa menduda?"
Aku diam tak lantas bicara. Pernikahan aku dan Ais memang tak biasa. Semua berjalan kebalikan.
Kebanyakan pasangan suami istri ---termasuk aku dan Dafina dulu---- melewati proses panjang, hingga akhirnya menikah.
Berkenalan. Berteman. Berpacaran. Bertunangan.
Baru kemudian...
Menikah.
Dalam setiap tahapan proses tersebut ada momen saling mengenal. Saling mengerti. Saling memahami.
Saat menikah, minimal kita sudah tahu sama tahu.
Pernikahanku dengan Ais berbeda.
Dalam beberapa hari ini, aku mulai mengerti kehidupannya, keluarganya. Meski masih sedikit... aku mulai mengenalnya.
Dari yang kukenal... aku suka.
Ais berbeda.
Dia... unik.
Refreshing.
Membawa penyegaran pada kehidupanku yang... dingin... penat... rumit.
Aku mengerti... sungguh paham... sebagai istri dia berhak tahu aku, kehidupanku. Bukan sekedar aku yang dia lihat.
Terlebih... besok aku sudah harus kembali ke Jakarta. Tentu saja... membawanya serta.
Aku tidak tahu apa tanggapannya dengan kehidupanku di Jakarta nanti.
Mungkinkah dia mengerti?
Sanggupkan dia menghadapi?
Aku melipat bibir lalu memejamkan mata sejenak.
Mampukah Aisyah menjadi seorang istri yang tangguh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
RomanceWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...