"Ais... sebelum kita ke rumah orangtua kamu. Ada yang perlu saya jelaskan menyangkut pernikahan kita nanti," ucapku berhati-hati.
Ais mengangguk. "Jangan khawatir Pak Aksa, Ais gak akan merepotin kok. Sebaliknya, sebisa-bisa nanti di rumah Bapak, Ais bantu-bantu..."
"Bukan masalah itu Ais," aku memotong.
Keningnya berkerut. "Apa atuh, Pak?"
Aku berdehem. "Begini Ais... sebelumnya, saya... ingin... kamu menandatangani surat perjanjian pranikah."
Aku melipat bibir, menunggu tanggapannya.
"Perjanjian pranikah?" tanyanya.
"Iya. Perjanjian pranikah," jawabku.
Ais mengangguk. "Iya. Hayu sini Ais tanda tangan," tantangnya.
"Umm... sebelumnya, izinkan saya menjelaskan garis besar isi perjanjian itu."
Ais menggeleng. "Gak usah. Ais udah paham, kok."
Keningku berkerut. "Memangnya kamu pikir apa isi surat perjanjian itu?"
"Ais duga... isinya kurang lebih... menyatakan bahwa Ais harus bersedia mencicil utang Ais ke Pak Aksa, sejumlah uang yang dikeluarkan Bapak untuk membebaskan Ais dari cengkeraman Ki Somad. Terus... Ais bersedia bantu-bantu Pak Aksa di rumah. Oya, isinya juga pasti soal Ais tutup mulut soal status pernikahan kita. Dan, setelah utang lunas... Ais bersedia diceraikan tanpa mendapatkan apa-apa. Betulkan, Pak?" tanyanya antusias. Seolah yakin bahwa jawabannya akurat.
Aku melipat bibir sambil menggeleng.
"Salah, Ais. Salah besar."
"Hah? Terus yang bener gimana, Pak?"
Aku menghembuskan nafas sebelum menjawab.
"Yang benar... isinya itu kurang lebih... umm, keinginan saya untuk melindungi aset-aset pribadi, berupa harta bergerak maupun tidak bergerak. Segalanya yang saya miliki sebelum tanggal pernikahan kita, akan mutlak tetap menjadi milik saya..."
"Ohh, ya iya atuh itu mah. Jangan kuatirrr... Ais gak kepikiran buat minta atau ngambil harta Pak Aksa," ujarnya dengan wajah serius.
Aku mengangguk.
"Sok sinilah suratnya. Ais tanda tangan sekarang juga," lanjutnya.
"Nanti Ais... selain yang tadi saya bilang, dalam surat itu juga akan tertulis sejumlah perjanjian lainnya. Jika nanti... pahit-pahitnya, kita harus bercerai... maka semua aset atas nama kamu, baik harta bergerak dan tidak bergerak, akan sepenuhnya menjadi milik kamu..."
"Aset Ais? Maksud Pak Aksa, baju, tas, sepatu punya Ais? Ohh ya iya atuh sepenuhnya menjadi milik Ais, da buat apa atuh Pak Aksa mau nyimpen baju Ais?" ucapnya sambil cekikikan.
"...paling-paling baju Ais kalau ditinggalin di rumah Pak Aksa juga nantinya dibikin lap pel," lanjutnya, kali ini sambil tertawa.
Aku menggeleng. "Bukan itu saja Ais?"
Tawanya terhenti. "Apa atuh?" Kali ini wajahnya menampakkan kebingungan.
"Kalau kamu istri saya. Selama kita menikah... tentu pada suatu masa, saya akan membelikan kamu ini dan itu sesuai kebutuhan. Nah, nantinya... semua yang saya belikan atas nama kamu, mutlak menjadi milik kamu," terangku.
"Ooh... begituuu. Yah, gak usah repot-repot beliin Ais apa-apa. Dengan Pak Aksa bersedia menalangi pembayaran utang keluarga Ais ke Ki Somad dan menikahi Ais, itu sudah lebih dari cukup. Ais janji untuk berusaha melunasi utang Ais ke Pak Aksa secepatnya sesuai kemampuan Ais mencicil..."
"Ais... kamu gak perlu mencicil uang pelunasan utang ke Ki Somad. Kamu juga gak boleh kerja jadi office girl lagi setelah kita menikah," terangku sesabar mungkin.
Keningnya berkerut. "Lah... gimana sih ini Pak Aksa, Ais jadi bingung. Kok Ais gak usah mencicil utang? Maksudnya bayar tunai? Darimana uangnya? Apalagi Ais gak boleh kerja jadi office girl. Terus Ais kerja dimana? Sebagai apa? Walau gimana, Ais kan butuh penghasilan untuk mengumpulkan uang mengembalikan uang Pak Aksa."
Aku menggeleng. "Gak usah Ais. Gak usah. Anggap saja uang itu sebagai kompensasi kamu sebagai gadis pengantin, tidak mendapat pesta pernikahan sebagaimana haknya seorang wanita yang dipersunting secara baik-baik, dan dinikahi secara sah dan resmi."
Ais menggigit bibirnya. Garis keningnya terlihat, menampakkan kalau dia masih berusaha mencerna kata-kataku.
Aku berdehem sebelum melanjutkan topik pembicaraan.
"Ais..."
"Iya, Pak Aksa..."
"Selanjutnya... isi surat perjanjian pranikah itu akan membahas masalah anak..."
"Aaanak?" tanyanya spontan dengan nada meninggi.
"Iya. Anak."
"Anak siapa? Anak Pak Aksa? Jangan kuatirrr... sayah mah gak bakalan jadi ibu tiri yang galak, apalagi kejam. Sebaliknya... Ais akan urus dan rawat anak-anak Pak Aksa dengan baik, tenang aja Pak."
Aku menggeleng. "Bukan kedua anak saya dari pernikahan pertama. Maksud saya... anak kita nantinya."
"Apa? Anak kiiitaaa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
RomanceWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...