Aku terkekeh sambil menggeleng.
"Enggak bisa gitu Ais. Nikah itu ada tahapannya. Perkenalan dengan orangtua. Lamaran. Persiapan pernikahan..."
Ais menggelengkan kepalanya bertubi-tubi. Wajahnya menampakkan ketidaksetujuannya.
"Enggak. Enggak. Enggak. Gak perlu. Ini darurat, Pak. Takutnya Ki Somad keburu bergerak, menggunakan kekuatanya untuk mengintimidasi keluarga Ais... memaksa Ais untuk jadi istri keempatnya," ucapnya memotong kalimatku.
Aku menghela nafas berusaha tenang.
"Iyaaa... tetap saja. Kamu itu, anak gadis orang. Ada tata krama. Gak bisa dong saya menikahi kamu begitu saja. Harus silaturahmi dulu sama orangtua kamu."
Ais mengangguk. "Bisa, Pak. Bisa. Emak dan Abah Ais sudah pasti lebih memilih Pak Aksa jadi suami Ais daripada Ki Somad. Sekarang juga Ais bisa ke rumah, manggil Emak dan Abah kesini buat kenalan sama Pak Aksa. Atau kita berdua ke rumah Ais sekarang. Tapi... mereka udah tau, kok. Ais cerita soal pembicaraan kita kemarin."
"Oya?"
"Iya."
"Terus, mereka bilang apa?"
"Kata Abah, Ais harus berpasrah dan ikhlas sambil terus berdoa memohon yang terbaik. Kalau kata Emak... walau Pak Aksa lebih tua dari Abah, Emak lebih setuju Ais nikah sama Pak Aksa daripada Ki Somad."
"Apa kamu bilang? Saya lebih tua dari pada Abah kamu?"
Ais mengangguk dengan wajah polos.
"Emangnya Abah kamu umurnya berapa, sih?"
"Umm... waktu nikah, Abah umurnya 18. Seumur Ais sekarang. Ais lahir waktu Abah umur 19. Jadiiii... sekarang umur Abah 37. Pak Aksa 38 kan?"
Huh.
"Iya," kataku datar.
Ais tersenyum sambil mengangguk.
Pantas saja kemarin dia bilang aku tua. Ternyata orangtuanya lebih muda dariku.
"Abah kamu kerjanya apa?"
"Abah Ais dulu kuli bangunan."
"Dulu?"
"Iya."
"Sekarang?"
"Sekarang Abah jadi bapak rumah tangga."
Keningku berkerut mendengar jawaban Ais.
"Bapak rumah tangga?"
Ais mengangguk.
"Iya. Kan ada ibu rumah tangga... nah, kalau Abah, bapak rumah tangga."
"Maksud kamu, nganggur?"
Ais menggeleng tidak setuju. "Bukan nganggur, Pak. Bapak rumah tangga. Memangnya kalau diam di rumah itu gak ngapa-ngapain? Kerjaan rumah itu banyak loh, Pak. Dari bangun pagi, sampai tidur malam, kadang kerjaan gak beres-beres."
Aku menggeleng. "Iya, saya paham. Tapiii... dimana-mana lelaki itu yang jadi pencari nafkah. Memangnya jadi bapak rumah tangga bisa menghasilkan uang? Pantas saja Emak kamu jadi harus pinjam uang ke Ki Somad..."
"Eh, Pak... jangan asal ngambil kesimpulan. Abah itu begitu karena terpaksa. Duluuu waktu kerja di proyek pembangunan pabrik di Karawang, Abah ngalamin kecelakaan kerja. Jadinya lumpuh. Harus duduk di kursi roda. Tapiii... biar gitu, di rumah Abah gak diem. Sebisa-bisa mengerjakan kerjaan rumah tangga, sementara Emak bekerja mencari uang..."
Ais terus saja berbicara membela orangtuanya.
"Nih, Pak... kata Emak, kalau nikah itu berarti kita harus setia dalam senang dan susah, dalam sehat dan sakit, dalam kelapangan dan kesempitan. Asal tau aja..."
Aku diam menyimak setiap katanya.
"Abah juga terpukul waktu sadar kalau sudah masuk perangkap Ki Somad. Sebagai seorang ayah, Abah merasa bersalah. Abah sampai menangis dan minta maap sama Ais berkali-kali..." ucapnya dengan suara bergetar. Mata berkaca-kaca menahan tangis.
Aku berdehem.
"Iya Ais... maaf, saya tidak tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
RomanceWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...