"Papah, nih Mamah harus ngapain? Baringan gini aja, terus matanya merem. Pasrah gitu aja, ya Pah?" tanya Ais sambil berbaring di ranjang hotel.
Aku yang baru ke luar dari kamar mandi menatapnya dengan bingung.
Sebelumnya...
Ais mandi di kamar mandi hotel dan keluar menggunakan daster batik coklat tanpa lengan dengan potongan kerah model u-shaped. Panjang bajunya persis di atas lutut Ais.
Aku yang tengah menatap kaca jendela menoleh lalu membalikkan badan ke hadapannya. Menatap Ais yang terlihat meragu melangkah mendekati ranjang di tengah ruang.
Kepala menatap ke bawah. Wajah tertutupi rambut panjangnya yang kini tergerai indah.
Aku tahu...
Ais merasa malu dan mungkin juga takut.
"Ehem," aku mendehem.
Ais melipat bibir. Mata masih tertuju ke bawah. Tubuhnya bergerak gelisah ke kiri dan kekanan perlahan. Tangan-tangannya menyetrika daster yang dikenakan, merapikan kusut tak kasat mata.
Aku harus menemukan kata apa pun, untuk mencairkan suasana.
"Ais, baju kamu bagus..."
"Umm... terima kasih Pak Aksa. Ini baju Ais jahit sendiri untuk dipake hari ini," gumamnya.
"Oya? Kamu bisa menjahit?"
Ais mengangguk. Masih menolak menatapku.
"Iya..."
"Ais belajar jahit dimana?"
"Di sekolah, Pak."
"Di sekolah?" kataku sambil berjalan mendekat.
Ais mengangguk. "Ais kan di SMK ngambil jurusan Tata Busana..."
Kali ini aku yang mengangguk mendengar jawabannya.
"Ais..." kataku lembut sambil perlahan mengangkat dagunya agar wajahnya menatapku.
"Tenang aja... kamu... jangan malu apalagi takut. Kamu istri saya sekarang bukan lagi karyawan. Posisi kita sekarang setara. Saya paham ini yang pertama buat kamu... kita... gak usah buru-buru... kamu santai aja. Oke?"
Ais mengangguk perlahan. "Ais istri... Pak Aksa suami..."
"Iya."
"Suaminya Ais."
Aku mengangguk sambil tersenyum. Perlahan tanganku yang tadi di dagunya menyentuh satu pipinya lalu menggeser rambut Ais di sana menyelipkannya di belakang telinga.
"Kalau gitu... Ais gak usah manggil dengan sebutan Pak Aksa lagi?"
Aku menatapnya penasaran.
"Emang kamu mau manggil saya dengan sebutan apa?"
"Papah."
"Papah?"
Ais mengangguk. "Iya."
"Terus, saya manggil kamu apa?"
"Mamah."
Aku tertawa sambil menggeleng.
"Oke deh Mamah... sekarang Papah mau mandi dulu ya," godaku sambil mencubit pipinya dengan gemas.
Lalu meninggalkannya berdiri di sana.
Setelah mandi, aku kembali ke ruang utama kamar hotel kami. Dan, aku dihadiahi pemandangan Ais yang sudah berbaring di atas ranjang.
Masih berpakaian seperti tadi. Sekarang Ais tidak terlihat ragu apalagi takut seperti sebelumnya. Hanya saja... kata-kata yang dia ucapkan.
Aku sungguh tidak tahu...
Harus tertawa atau langsung memburu Ais ke atas ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
RomanceWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...