"Pak Dewa apa kabar?"
Dewa Persada seorang arsitek yang sudah beberapa kali kerja sama sebagai rekanan proyek GHI.
"Baikk... gimana kabarnya nih, dah lumayan lama gak ketemu, tambah berotot aja nih kayaknya," ujar Pak Dewa beramah tamah,
Tingginya kurang lebih sama denganku. Sekitar 180an cm. Tubuhnya juga tampak kekar berisi. Dulu kami sempat cukup sering nge-gym bareng. Biasanya sambil membicarakan urusan kerjasama bisnis.
Dalam berbisnis, kita harus fleksibel. Ada kalanya kesepakatan tidak terjadi begitu saja di ruang meeting. Kadang kita butuh pendekatan personal.
Sebagian mungkin pergi ber-golf untuk mengupayakan jalinan kerjasama bisnis. Tapi itu tidak berlaku tegak lurus.
Sebagai pebisnis kita harus mengenali kebiasaan kawan atau lawan sekalipun.
Dewa Persada bukan tipikal orang yang melakukan olah raga golf. Lelaki bertato di sepanjang lengannya itu, adalah tipe orang yang berlama-lama meluangkan waktu di tempat nge-gym.
Kebetulan, aku pun lebih memilih berolah raga di pusat kebugaran ketimbang meluangkan waktu di padang golf.
"Iya, nih Pak... maklum bujangan... butuh pelepasan energi, dan saya pilih berolah raga saja," candaku.
Dewa tertawa sambil mengangguk.
Umm...
Dewa Persada yang ada di hadapanku ini berbeda dari yang dulu kukenal. Dulu... lelaki ini selalu teelihat serius dan profesional. Sekarang... lebih ramah. Dewa yang dulu mana pernah tertawa seperti itu.
Dewa adalah seorang arsitek genius bertangan dingin. Apa pun yang dikerjakannya akan menghasilkan suatu karya yang indah, kukuh, dan fungsional. Meski demikian, tidak mudah bekerjasama dengannya. Orangnya moody, perfectionist, dan kurang fleksibel.
Lantas... apa yang membuat lelaki bertabiat keras di hadapanku ini berubah?
"Makasih Pak Dewa jauh-jauh dari Jakarta mau datang. Macet gak, Pak?" tanyaku sambil mempersilahkannya duduk di salah satu kursi di hadapan meja kerjaku.
"Ah, santai aja. Itung-itung jalan-jalan. Istri saya malah semangat waktu tahu saya mau kesini. Mau sekalian rekreasi katanya bawa anak-anak," terangnya sumringah sesaat setelah duduk.
Ah...
Pernikahan.
Istri dan anak-anaknya rupanya yang telah meluluhkan Pak Dewa.
Aku tersenyum sambil berjalan ke arah kursiku. Lalu duduk berseberangan dipisahkan meja kerja.
"Mau minum apa, Pak? Kopi? Teh?"
Pak Dewa mengangkat ke dua tangannya sambil tersenyum ramah.
"Gak usah... gak usah... tadi di hotel baru makan dan sekalian ngopi."
"Nyonya dan anak-anak di hotel?"
Dewa mengangguk.
"Iya. Tuh hotel bagus. Ada play ground nya cukup luas. Makasih yah udah kasih akomodasi sebagus itu," ucapnya sungguh-sungguh.
Dewa Persada berterima kasih?
Yeah right...
Ini benar-benar bukan Dewa yang dulu kukenal.
Tapi...
Memang sudah 4 tahun ini GHI tidak menggunakan jasanya. Bukan karena tidak butuh. Namun, kliennya Dewa itu lumayan banyak. Harus bersedia masuk dalam waiting list.
Pemilik Deva's Architectural & Design itu sebenarnya punya tim kerja arsitek yang cukup bagus. Namun, beberapa user termasuk GHI untuk project tertentu, ingin supaya Dewa sendiri yang menanganinya.
Termasuk, project kali ini.
Butuh hampir setahun sampai akhirnya Dewa bisa mengosongkan waktunya untuk menangani project kami.
"Jadi gini Pak Dewa... seperti yang sudah saya jelaskan di kantor Jakarta... kita mau mempercayakan pada Anda dalam mendesain masjid, taman komplek including area play ground dan jogging track nya. Nanti kita sama-sama lihat lokasinya. Biar ada gambaran..."
Dewa mengangguk sambil tersenyum.
"Ayo, kita ke lokasi sekalian sekarang," ajaknya dengan antusias.
Di lokasi Pak Dewa dengan serius menyimak penjelasan arsitek internal kami. Melihat peta perencanaan komplek, lalu memotret lokasi yang dimaksud dari berbagai sudut.
Aku mendampingi. Sesekali ikut memberi penjelasan atas pertanyaannya.
Lalu...
Tanpa sengaja wajahku menoleh ke suatu area tanah tinggi. Kontur tanah di area proyek ini memang tidak rata. Sebagian lebih tinggi dari lainnya.
Di sana, aku melihat Ais berdiri. Tatapanya kosong menatap ke arah persawahan yang terbentang di sekitar area proyek. Matanya tampak sendu.
Kemudian...
Aku melihat Ais menjatuhkan dirinya ke tanah hingga terduduk. Wajahnya segera ditutupi kedua telapaknya. Kepala menunduk. Bahunya tampak bergetar.
Aku tahu...
Ais... menangis.
Dadaku terasa sesak. Nafasku memberat.
Aku melipat bibir.
Detik ini juga...
Aku membuat keputusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
RomanceWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...