Mempertahankan Mahligai

10K 1.3K 37
                                    


Mataku terbuka dari tidur. Aku menoleh ke sebelah ranjang. Tak ada Ais. Samar-samar terdengar suara anak-anak dari luar kamar.

Kuduga mereka menagih sarapan pada Aisyah.

Perlahan aku bangkit lalu berjalan ke kamar mandi, menyiapkan diri menghadapi hari ini.

Beberapa saat setelahnya, aku keluar dari kamar menuju ruang makan. Seperti kuduga, anak-anak sudah asyik menikmati sarapan pagi ini, dan tentu saja ada... Dafina.

Huh.

Aku menggeleng kesal. "Mana Mamah Ais?" tanyaku tanpa basa-basi.

Anak-anakku spontan menoleh ke arahku sementara mata Dafina menemukan mataku.

"Lagi bikin roti bakar buat bekal aku ke sekolah," jawab Arsy polos.

"Iya, buat aku juga. Kata Mamah Ais, bekal hari ini roti bakar, jus jambu, sama pir," tambah Malika setelah mengunyah sarapannya.

Aku mengangguk sambil mengusap kepala anak-anakku yang duduk bersebelahan.

"Kamu, ngapain di sini?" tanyaku pada Fina, masih terus mengusap kepala anak-anak.

Kening Fina berkerut. "Kan emang biasa ke sini kalau pagi-pagi..."

"Minta sarapan sama istriku?" tanyaku dingin.

"Kan...emang biasanya gitu..."

Aku menggeleng. Lalu mulai melangkah ke arah dapur. "Kok gak punya malu," gumamku sambil berlalu.

Semalam Aisyah menumpahkan kegamangannya dalam menjalani rumah tangga denganku. Mengungkapkan perasaan yang selama ini dia pendam. Merasa kecil dan sendirian. Dalam percumbuan kami, kuyakinkan padanya bahwa dia tidak sendirian. Tidak akan pernah. Ada aku. Selalu akan ada aku. Aku bahkan memohon padanya untuk kuat mendampingiku. Terus bertahan menjadi istriku.

"Pagi..." bisikku lembut setelah memeluk Ais dari belakang, lalu mengecup pipinya.

"Pagi... Papah udah bangun. Nanti bekal roti bakar juga yah buat di kantor," balas Ais yang tengah mengambil roti bakar dari sandwich maker yang kami beli di toko perlengkapan rumah tangga beberapa hari sebelum aku pergi ke Batam.

"Iya... Mamah udah sarapan?"

Ais menggeleng. Belum.

"Sarapan bareng yah kita nanti?" ajakku sebelum kembali mengecup pipinya.

Ais mengangguk. Iya.

"Sini Papah bantuin..."

Lalu aku dan Ais bekerja sama membuat makanan bekal untuk anak-anak dan aku. Sesekali aku mencuri kecupan di pipi atau kepala Ais.

Ehem. Suara orang berdeham.

Dafina.

"Mau apa?" tanyaku datar.

"Bekalnya udah beres belom ya? Anak-anak nanti terlambat ke sekolah," ucap Fina dengan mata menyelidik. Kedua tangannya dilipat di dada.

"Udah beres Bu Mantan... nih..." kata Ais sambil menyerahkan dua kantong kain kecil, berisi bekal makanan untuk anak-anak.

Dafina mengambilnya dari tangan Ais dengan bergegas. Lalu matanya menyorotkan permusuhan pada istriku.

"Fina..." kataku dengan nada memperingati.

Dafina menggeleng. Lalu tersenyum kering.

"Sekarang dia playing victim. Ampuuun deh... aku terus yang salah..." gumamnya sambil membalikkan badan ke arah ruang makan.

"Ayo anak-anak Mami antar ke sekolah. Buruan nanti keburu telat," katanya pada anak-anakku.

Anak-anak berhambur ke padaku. Setelah menyalamiku, mereka menyalami Ais lalu beranjak pergi meninggalkan apartemen.

Aku berjalan ke arah Ais yang berada sekira dua langkah di depanku. Kupeluk dari belakang.

"Sekarang... kita sarapan," bisikku.

Ais mengangguk setuju.

Meski Ais yang humoris dan pemberani belum sepenuhnya kembali, tak mengapa. Ini adalah saat-saat aku harus terus meyakinkannya untuk terus sanggup mempertahankan mahligai rumah tangga ini yang tentu saja jauh dari kata ideal.

Tapi....

Dia harus sanggup.

Akan kukuatkan dia untuk terus teguh.

Harus.

Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang