Aku menghembuskan nafas sebelum kembali bersuara.
"Ais... saya menjadi CEO bukan semata ayah punya saham di perusahaan. Kalau kamu mau tahu, kepemilikan saham ayah saya, itu yang terkecil di antara 2 pemegang saham lainnya. Sejak awal, saya tidak berambisi menduduki kursi CEO. Tahu diri sajaaa... sebelum saya, anak-anak pemegang saham lainnya lebih berhak. Tapi...sejak saya kuliah S1, sudah rajin ikut serta bekerja di perusahaan... tujuan saya, karena saya ingin menambah ilmu dan pengalaman..."
"... di kantor, saya mulai dari posisi sebagai anak magang... dan seterusnya... dan seterusnya... artinya, posisi CEO yang saya pegang, ini... buah kerja keras bertahun-tahun. Kamu tahu, ada kualifikasi tertentu untuk menjadi seorang pemimpin tertinggi di manajemen perusahaan yang tidak bisa dipelajari di sekolah..."
Aku terus berbicara. Ais terlihat menyimak dengan serius.
"Satu... insting. Saya harus menggunakan segenap radar untuk bisa jeli melihat peluang. Mampu melihat potensi bisnis yang bisa membawa keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan..."
"Dua... strategi dan kebijakan. Berani mengambil keputusan disaat tersulit sekalipun. Siap untuk menjadi atasan yang tidak populer dikalangan anak buah..."
"Tiga... berani mengambil risiko. Setiap keputusan pasti berisiko. Bisa untung, bisa rugi. Setiap konsekuensi, sejak awal sudah saya perhitungkan, pertimbangkan, dan siap saya ambil... kamu mengerti?"
Ais mengangguk perlahan. Tapi kemudian menggeleng.
"Iya... Pak Aksa sebagai CEO memang terkenal handal, pekerja keras, dan bertangan dingin... tapi, apa hubungannya sama Ais?"
"Ais..."
"Saya, Pak Aksa..."
"Maksud saya... mengambil keputusan untuk menikahi kamu, bukan tanpa pertimbangan. Saya sadar... keputusan itu akan membuat kontroversi, baik di perusahaan maupun di keluarga saya... tapi, itu adalah risiko saya. Urusan menikah dengan siapa? Itu urusan pribadi. Segala risikonya pun... itu sepenuhnya akan menjadi konsekuensi saya. Paham?"
"Umm..."
"Aisyah..."
"Pak Adhyaksa..."
"Satu hal yang harus kamu tahu... saya menolak menjalani pernikahan berkonsep diam-diam dan rahasia. Kalau kamu mau saya menikahi kamu, maka... kamu harus bersedia menjadi seorang Nyonya Adhyaksa Yustisia."
Keningnya berkerut. "Maksud Pak Aksa... kita menikah betulan, bukan sekedar status?"
"Iya," kataku sambil mengangguk.
"Kalau begitu... sebagai istri sah dan resmi, Ais memiliki hak sepenuhnya terhadap Pak Aksa?"
"Maksud kamu?"
"Maksud Ais... Pak Aksa teh miliknya Ais?"
Aku mengangguk. "Iya... selama kita terikat pernikahan."
"Sampai kapan?" tantangnya.
"Selama mungkin," jawabku.
"Umm... sampai maut memisahkan?"
"Iya... kalau saya menikah, pasti niatnya seperti itu."
Ais mengangguk. Pengertian sepertinya sudah masuk direlungnya.
"Pak Aksa..."
"Iya Ais..."
"Soal surat perjanjian pranikah."
"Ada apa soal itu?"
"Kalau memang Pak Aksa mau kita menikah sungguhan, Ais minta dimasukkan perjanjian ala Ais juga."
Keningku berkerut. "Perjanjian ala Ais?"
Ais mengangguk. "Iya. Permintaan Ais untuk Pak Aksa penuhi."
Umm...
Aku jadi penasaran.
"Memangnya, kamu mau saya menjanjikan apa untuk kamu?"
Ais menujukkan jarinya kepadaku. Matanya menyorot padaku dengan serius.
"Pak Aksa... selama kita terikat pernikahan... dilarang selingkuh. Kalau Pak Aksa melanggar... hukumannya... sebagian aset atas nama Pak Aksa menjadi hak anak-anak tak terkecuali, baik anak-anak yang saat ini sudah ada, maupun anak-anak dari Ais, bila ada. Sebagian harta itu dibagi rata untuk anak-anak."
Hah?
"Terus, sebagian harta saya lainnya?"
"Disumbangkan ke badan-badan amal."
"Apa! Kenapa?"
"Supaya si pelakor menjalani hidup dengan Pak Aksa dalam keadaan miskin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
RomanceWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...