Aku menghembuskan nafas. Mata menatap langit-langit. Berusaha untuk terus sabar.
"Pak Aksa... saya tahu permintaan saya ini lancang dan tidak pada tempatnya. Tapi... tolonglah saya. Bantu saya dari keputusasaan ini... Pak Aksa jangan khawatir. Silahkan tulis surat perjanjian antara kita. Saya tidak akan mendapatkan apa-apa dari pernikahan ini. Saya juga berkewajiban menyicil utang sama Bapak sampai lunas..."
"Ais... kamu minta saya nikahin kamu. Sekarang saya tanya, kamu tahu status saya?"
"Status Pak Aksa?"
"Iya, status. Kamu paham maksud saya?"
"Maksud Pak Aksa... status... duda gituh? Saya tahu."
"Oya?"
"Iya."
"Dari mana kamu tahu?"
"Dari gosip anak-anak kantor."
"Apa? Gosip? Kok mereka ngegosipin saya? Kurang kerjaan aja."
Ais tersenyun sambil melambaikan satu tangannya ke arahku.
"Ihh... bukan cuma Pak Aksa... siapa aja suka digosipin?"
"Hah? Siapa aja?"
"Iya, Pak... tergantung kemana angin berhembus. Asal ada yang mulai ngomong yang lain ngikutin. Pembicaraan bakal ngalir dari topik satu ke lainnya. Dari gosip A sampai Z."
Keningku berkerut. "Trus, kamu ikut-ikutan ngegosip?"
Ais tertawa sambil menggeleng. "Ihh... ya enggak atuh, Pak. Saya paling nguping aja. Sambil beres-beres ini itu..."
Aku menggeleng. Berpikir apa mungkin membuat peraturan perusahaan seputar dilarang bergosip di kantor.
"Pak Aksa... Bapak punya anak?"
Aku mengangguk.
"Saya punya dua anak. Yang kesatu 10 tahun. Kedua 8 tahun."
Ais menepuk kedua tangannya.
"Tah itu malah tambah bagus. Nantiii di rumah Pak Aksa saya juga bisa bantu-bantu ngasuh anak-anak. Nantiii saya bisa jadi teteh mereka."
Hah?
"Teteh?"
Ais mengangguk antusias.
"Iya, Pak. Usia mereka juga gak jauh-jauh amat dari adek saya. Saya punya dua adek. Yang persis di bawah saya, umurnya 13 tahun. Si bungsu, 10 tahun."
Aku menggeleng.
"Ais... kalau kamu jadi istri saya, berarti status kamu bukan teteh dari anak-anak saya."
"Ihh... gak apa-apa atuh Pak. Mending saya dipanggil teteh dari pada dipanggil bibi. Rasanya saya masih terlalu muda untuk dipanggil Bi Ais."
Keningku berkerut. Semakin gagal paham dengan cara berpikir Ais.
"Bibi?"
Ais mengangguk.
"Iya, Pak. Emak juga bertahun-tahun berkarir sebagai pembantu rumah tangga. Biasa dipanggil Bi Ikam. Kalau saya mah... kalau boleh ini juga... ingin dipanggil Teh Ais ajahhh," ucapnya sambil tersenyum polos.
Huh.
Whatever.
"Ais... kamu tahu umur saya berapa?"
Ais menggeleng.
"Umur saya... 38 tahun."
Mata Ais membelalak. Mulutnya melongo.
"Pak... Pak... Aksa teh 38 tahun?"
"Iya."
"Eleuh... eleuh... geuning udah tua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
RomanceWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...