Aku berbaring dalam posisi menelungkup. Hanya menggunakan celana dalam boxer hitam. Ais duduk di antara kedua kakiku. Tangan-tangannya memijat betis yang sudah diolesi minyak urut GPU yang juga sudah dibekalnya.
"Papah, malam ini istirahat. Sebelumnya Mamah pijit dulu biar badannya ringan. Nih, pake ini," katanya ceria sambil mengangkat menggoyang-goyangkan botol GPU yang dipegangnya ke hadapanku.
"Bekal dari rumah?"
Ais mengangguk. "Iya, dong. Mamah kan sebelum kita nikah belanja di pasar buat perbekalan selama tinggal di hotel. Sudah Mamah pikirkan segala sesuatunya," katanya bangga.
Aku terkekeh sambil menggeleng namun menuruti maunya.
"Kamu belajar pijat dari mana?" tanyaku sambil menikmati pijatan lembutnya.
"Sendiri. Otodidak. Dari dulu, Emak suka minta dipijit. Capek ceunah. Pegel. Maklum atuh kerja di tiga rumah..."
"Oya?"
"Iya. Tapi giliran. Selang-seling gitu."
"Umm... pulang hari kan?"
"Iya... kerjanya dari jam 6 pagi sampai jam 5 sore."
"Tiap hari?"
"Enggak... kalau Sabtu dan Minggu mah Emak di rumah gak kerja. Libur."
"Umm..."
Kami kembali terdiam. Aku memejamkan mata menikmati pijatan yang diberikan Ais.
Enak.
Mana aku tahu kalau Ais pandai memijat.
Bibirku menyunggingkan senyum.
Ah... beruntungnya aku.
"Enak, Pah dipijit Mamah?"
"Hu'um... mantap nih Mamah..." pujiku.
"Ehh atuh... demi Papah mah... apa pun lah sok... sampe nongkrongin yutub di komputer Teh Nia..."
"Sania?"
"Iya... kalau lagi komputernya gak dipake itu juga. Trus kalau Mamah lagi gak ada kerjaan..."
"Nonton apa emangnya Mamah di youtube?"
"Teknik memijat...ini lagi dipraktekin pan... enakkan?"
Aku terkekeh. "Enak..."
Hening.
"Umm... Pah..."
"Iya Mah..."
"Makasih ya, tadi dah bayarin utangnya Emak ke Ki Somad...sekaligus membebaskan Mamah dari pernikahan jadi istri keempat...ihh... naudzubillah... jangan sampai kealamin," katanya sambil bergidik.
"Iya, Mah... sekarang kamu tenang aja. Masalah Ki Somad sudah beres. Pesan dari Papah juga tadi sudah jelas. Kalau berani ganggu keluarga kamu... urusannya hukum. Papah siap membayar pengacara bagus untuk menangani setiap kasus, bila ada, terkait Ki Somad dan para tukang pukulnya. Ini negara hukum kok, segala sesuatu ada aturannya," terangku.
Ais diam. Tangannya masih telaten memijat.
"Umm... Pah..."
"Iya, Mah..."
"Tadi... orang-orang kantor... umm... staf laki-laki, keliatannya nerima Mamah pan yah? Waktu Papah umumin kalau kita sudah menikah?"
Tadi siang sepulang membereskan urusan Ki Somad, aku mengatur agar semua staf makan siang di kantor. Aku traktir. Menyewa jasa katering yang sebelumnya sudah ku booking atas bantuan Sania.
Saat itu, aku mengumumkan bahwa makan siang tersebut merupakan syukuran pernikahanku dan Ais.
"Iyaaa... mereka kagetlah pasti... tapiii, mau gak mau yah nerima, lagian pernikahan kita bukan urusan mereka," ucapku.
"Iya sih... tapi..."
"Tapi apa?"
"Enggak sih..."
"Kenapa Mah?"
"Umm enggak..."
"Yakin gak ada yang mau Mamah bilang ke Papah..." kataku sambil menolehkan kepala menatapnya.
Sambil memijat Ais menggeleng.
"Mah... kalau ada apa-apa ngomong aja?"
"Umm... enggak... cuma itu... tadi di kantor Mamah jadi serba salah juga. Ada perasaan seneng... lega... urusan dengan Ki Somad dah beres. Pernikahan kita juga dah diumumin... tapi..."
"Tapi?"
"Umm..."
"Ais..."
"Loh, kok Pak Aksa manggil Ais lagi?"
"Umm... iya, sorry... Mamah..."
"Iya, Pah..."
"Tapiii?"
"Tapi apa?"
Aku menggeleng. "Tadi kamu mau ngomong apa?"
Ais menghembuskan nafas sebelum bicara. "Ada juga sih yang nyindir-nyindir Mamah soal pernikahan kita..."
"Nyindir? Siapa?"
"Ada lahhh... gak usah disebutin namanya..."
"Staf perempuan?"
Ais mengangguk.
"Nyindir gimana?"
"Iyaaa... bukan nyindir sih... emang bener..."
"Apanya?"
"Kata-kata mereka..."
Mereka?
Lebih dari satu berarti.
"Siapa aja sih? Ngomong apa mereka?"
"Umm... macem-macem sih..."
"Salah satunya?"
"Umm..."
"Mah... ngomong, apa?"
"Umm... kalau Mamah gak pantes jadi istrinya Papah... katanya biasa bos kayak Pak Aksa nikahin perempuan kayak Ais... tapi... sementara..."
"Sementara? Maksud kamu?"
"Maksud mereka?"
"Iya... maksud mereka yang ngomong, apa?"
"Umm katanya... wait and see... artinya tinggal tunggu waktu... kurang lebih gitu artinya..."
"Nungguin waktu apa?"
"Papah bosen sama Mamah. Terus... mencampakkan Mamah begitu aja... istilahnya tadi mereka bilang... habis manis sepah dibuang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
RomanceWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...