Tidur

13K 1.5K 69
                                    

"Aduh kamu ngaco deh ini," ujarku sambil menggeleng menanggapi penjelasan gila dari Ais.

"Pak Aksa...coba Bapak ada di posisi saya. Tidak berdaya dan nyaris putus asa. Ini saya minta tolong... saya gak akan minta apa-apa dari pernikahan kita nanti. Saya punya itikad untuk melunasi hutang saya pada Pak Aksa nantinya... justru dengan pernikahan resmi itu juga bisa jadi jaminan buat Bapak kalau saya tidak akan melarikan diri..." terangnya dengan bersungguh-sungguh.

Aku mengangkat satu tangan ke atas, sebagai gestur memintanya untuk diam.

"Kamu pikirin... setelah kita menikah, what's next?"

"Maksud Pak Aksa next nya apa gituh? Next itu kalau gak salah artinya, lanjut kan ya Pak?"

Duuh Aisyah.

"Iyaaa... selanjutnya apa?"

Ais tersenyum sambil mengangguk, siap memberi penjelasan lebih.

"Saya ikut Pak Aksa ke kantor pusat. Nanti saya minta tolong supaya dipekerjakan di kantor pusat di Jakarta."

"Kenapa?"

"Biar saya punya penghasilan untuk menyicil utang ke Pak Aksa."

Masuk akal. Walau idenya masih di luar nalar.

"Kerja sebagai apa?" Aku penasaran.

"Yahh... samain ajalah Pak kayak di sini."

Hah?

"Maksud kamu, office girl?"

Aisyah mengangguk sambil tersenyum.

"Iya, Pak."

"Gila kamu. Saya ini CEO. Level tertinggi di manajemen perusahaan. Dan kamu... istri saya nantinya kerja di kantor yang sama, sebagai office girl, posisi terendah dalam hierarki perusahaan, gitu?"

"Iya, Pak. Siap Pak. Setuju saya."

"Aisyahhh..." aku menggeram sambil menggeleng, berupaya terus untuk tetap tenang.

"Hadir Pak."

Aku mengusap wajah sambil menghembuskan nafas.

Ah, sudahlah.

Next.

Lalu aku kembali menatapnya.

"Di Jakarta nanti, kamu mau tinggal dimana?"

Aku penasaran dengan jalan pikirannya.

"Umm... nanti Ais indekost aja, Pak."

"Indekost?"

"Iya, Pak. Sewa kamar gituh. Tapi yang murah aja... kan rencananya setengah gaji Ais mau buat nyicil utang ke Pak Aksa."

Aku menggeleng. "Kalau kamu istri saya, kamu gak boleh ngekost Ais."

"Ohh...maksudnya tinggal di rumah Pak Aksa gituh? Di kamar pembantu?"

Aku kembali menggeleng. "Saya tinggal di apartemen. Gak ada kamar pembantu."

Keningnya berkerut. "Oh... apartemen... semacam rumah susun gituh yah Pak."

Huh.

"Iya aja deh," jawabku mengalah.

Ais tersenyum. "Gak apa-apa, Pak. Saya bisa tidur di lantai. Pake tiker."

"Saya gak punya tikar."

"Karpet?"

"Ada tapi kamu gak boleh tidur di atas karpet."

"Ohh...iya...iya... karpet Pak Aksa mahal yah, takut keilerin sayah..." katanya sambil terkekeh.

"Bukan gitu juga Ais...."

"Gak apa-apalah kalau terpaksa mah, sayah tidur di lantai apa adanya. Gak pake alas. Gak apa-apa, Pak. Saya ikhlas. Demi... demi menyelamatkan diri dari Ki Somad."

"Ais..." aku bersaha terus sabar.

"Kalau kamu istri saya, kamu... gak boleh tidur di lantai."

Ais mengerutkan bibir dan hidungnya. Keningnya juga mengerut.

"Saya bingung, Pak... jadi saya teh nanti harus tidur dimana atuh?"

Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang