"Apa? Menikah? Sama gadis Cianjur, berusia 18 tahun, Office girl kantor perwakilan di sana?" teriak Ayah dengan marah saat aku selesai berbicara.
Sengaja, pada jam makan siang aku bertandang ke rumah orangtua. Awalnya kedua orangtuaku menyambut, lalu kami makan siang bersama di rumah. Setelahnya, aku meminta waktu untuk berbicara. Menceritakan kisah pernikahanku dengan Ais.
"Gila kamu, Mas... apa yang ada di otak kamu. Bikin malu saja," kata Ayah, masih menumpahkan kemarahannya.
"Mas... kamu sudah menduda lima tahun. Selama itu kamu dekat dengan satu perempuan dan lainnya? Semua mental... ehh, gak hujan gak angin, malah nikah sama OG. Ibu tanya, apa yang ada dalam pikiran kamu?" ujar Ibu tak kalah murka.
Aku menggeleng, lalu menghela nafas panjang.
"Usiaku sudah 38 tahun. Aku sudah lebih dari dewasa untuk membuat keputusan terkait hidup aku. Itu... hakku. Aku kesini bukan untuk meminta restu... aku, menghormati Ayah dan Ibu sebagai orangtua... bahwa, aku sudah nikah lagi. Aku berharap Ayah dan Ibu bersedia menghormati keputusanku ini..."
Ibu menggeleng. "Kenapa kamu tidak rujuk saja sama Fina? Dia itu, kurang apa coba? Selama ini dia masih setia sama kamu..."
"Bu... aku coba ingatkan lagi, ya... dulu itu Fina yang bersikeras untuk bercerai."
"Iya... iya. Ibu ngerti. Tapi... posisinya dulu, dia itu masih muda... labil.... kamu kurang sabar," ujar Ibu.
Aku menggeleng. "Ya sudah, ya sudah.... saat ini, aku ingin melangkah ke depan. Membina rumah tangga dengan Ais."
"Memang dia cantik, ya? Mana fotonya Ibu lihat."
Aku kemudian memperlihatkan foto Ais di HP. Ibu menatapnya lalu mengernyit.
"Ah, biasa aja. Gak istimewa. Kelihatan gadis kampungnya. Mending Dafina kemana-mana..."
Aku menggeleng, tak tahu harus menanggapi apa sambil menerima kembali HPku dari tangan ibu.
"Mas, pernikahan kamu sama perempuan itu sah aja, kan?"
Aku mengernyit. "Kalau Ayah bertanya apakah aku menikahinya secara siri, tidak. Aku menikahi Aisyah secara resmi. Sesuai dengan hukum yang berlaku baik secara agama maupun negara."
Ayah menggeleng. "Gila, kamu."
Aku diam memperhatikan keduanya. Lalu menghela napas kalah.
"Aku pamit," kataku sambil berdiri.
"Mau kemana kamu?" tanya Ibu.
"Balik kantor."
"Mas... kalau bisa, orang kantor gak usah tahu ya. Malu, Ayah. Masa anaknya komisaris, pendiri perusahaan nikah sama OG."
Aku melipat bibir menahan amarah.
"Ayah. Bagaimana kalau aku resign saja. Aku ada beberapa tawaran kerja, dan mengajar. Mungkin ini sudah saatnya aku meninggalkan GHI."
"Jangan gila kamu. Posisi CEO di GHI, itu sudah bagus. Ayah bangga."
Aku menggeleng. "Aku gak mau kerja di tempat dimana aku tidak bisa mengakui Ais sebagai istriku," ucapku.
Lalu aku beranjak meninggalkan keduanya untuk ke luar rumah, kembali ke kantor.
Aku menggeleng. Tidak percaya akan reaksi orangtuaku.
Tapi...
Keputusanku menikahi Ais sudah dibuat dan dilaksanakan.
Aku...
Pantang untuk menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
RomanceWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...