Serba Salah

11.4K 1.4K 25
                                    

Telepon kantor berbunyi.

"Halo?" kataku.

"Pak, tamunya sudah tiba," ucap Sania melalui sambungan telepon.

"Oke. Kasih saya waktu 5 menit, baru tamunya dipersilahkan masuk " perintahku pada Sania sebelum menutup pembicaraan.

Setelah menaruh gagang telepon di tempatnya, aku kembali menatap Ais.

"Saya ada tamu. Pembicaraan kita hari ini selesai."

"Tapi... tapi... Pak Aksa bersedia kan menikahi saya?"

Aku menggeleng.

"Kenapa?" tanyanya dengan nada panik.

"Saya terlalu tua untuk kamu. Kamu sendiri tadi yang bilang kalau saya sudah tua."

Ais seketika menempelkan kedua telapaknya setinggi wajah, sebagai gestur permohonan maaf.

"Ampun Bapak. Ais keceplosan. Maapin Ais... Pak Aksa belum tua-tua amat kok. Dibandingin Ki Somad mah, ihh... mending Pak Aksa kemana-mana..."

"Kamu bandingin saya sama calon suami kamu itu?" tanyaku tersinggung.

"Ampun... ampun, Pak... maapin Ais... gak maksud begitu juga. Tolongin atuh Pak lah... ya?"

Aku menghela nafas sambil menatap wajahnya yang penuh harap.

"Nanti saya pikirkan... atau saya bantu cari solusi lain..."

Ais menggeleng bertubi-tubi.

"Atuh lah, Pak... da ganteng... da baik... da sholeh... iyain aja atuh, Pak. Gak bakal rugi punya istri kayak Ais mah. Beneran Pak... nanti rumah diberesin, dimasakin, cucian tau bersih, tau wangi... anak-anak diurus.... beneran ini mah Pak... Ais janji gak bakal macem-macem. Utang juga Ais cicil sampe lunas... tulungin atuh lah Pak... darurat ini..."

"Ais... gak bisa gitu. Pernikahan itu bukan untuk dipermainkan," kataku berusaha bijak.

Keningnya berkerut. "Ihh Bapak... siapa yang mau main-main. Ini mah serius, Pak... benerannn..."

"Ais..."

"Pak Aksa..."

"Nanti kita bicarakan lagi ya... sekarang saya mau ada tamu dulu."

Bibirnya dierutkan. Demikian pula keningnya. Dalam duduk perlahan Ais menundukkan kepalanya.

Hening.

Sampai...

Aku mendengar suara  isakan.

Ais menangis.

"Ais..." ucapku lembut.

Ais menggeleng perlahan sebelum mengangkat wajahnya kembali ke hadapanku.

Segaris air matanya sudah menetes di pipi.

Ais tersenyum sambil mengusap air matanya.

"Gak apa-apa, Pak... Ais paham... ini tidak mungkin... mana mungkin Pak Aksa mau memperistri Ais... da Ais mah apa atuhlah... gak apa-apa... ini sudah nasib Ais mungkin, jadi istri keempat Ki Somad..." ucapnya dengan nada bergetar.

"Hei... saya belum bilang enggak loh Ais. Saya cuma bilang mau pikir-pikir dulu..."

Ais menarik nafas berbalut isakan sambil mengangguk.

"Iya, Pak... terima kasih. Permisi, Pak..." ucapnya lirih sambil perlahan berdiri dan berjalan menuju pintu.

Aku menatap langkahnya yang gontai. Kepalanya yang menunduk. Bahunya yang diturunkan. Punggungnya yang membungkuk. Gestur kalah. Putus asa. Menyerah.

Aku menghela nafas sebelum berdiri lalu berjalan menuju Ais.

"Hei..." kataku sambil menepuk ringan punggungnya.

"Jangan jadi orang yang sudah kalah sebelum berperang."

Ais diam lalu mengangkat wajahnya hingga menatapku.

Matanya masih membentuk kolam air. Pipinya belum kering.

Secara naluri aku mengangkat tangan untuk menyapu air matanya.

"Ais... kasih saya waktu untuk berpikir. Apapun hasilnya nanti... saya akan bantu cari solusi. Kamu jangan berkecil hati dulu," ucapku lembut.

Ais melipat bibirnya yang bergetar lalu mengangguk perlahan.

"Terima kasih Pak Aksa," ucapnya lirih sebelum beranjak meninggalkan ruangan ini.

Untuk beberapa saat aku hanya berdiri menatap pintu. Pikiranku kosong. Hatiku senyap.

Tidak tahu harus bagaimana.

Haruskah aku berkata iya?

Menikah.

Pernikahan seperti apa yang akan terbina bersama Ais.

Konsep pernikahan Ais mengenai pernikahan ini menggelikan.

Apa iya aku harus menuruti keinginannya?

Aku menggeleng.

Ahh, Ais...

Kamu membuatku serba salah.

Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang