Dua minggu kemudian.
"Kamu sekolah tamatan mana?" tanya ibu pada Ais.
Kami memenuhi undangan makan malam orangtuaku. Saat kupikir hanya akan ada aku, Ais, ayah dan ibu, aku salah.
Ternyata.....
May juga hadir bersama suami dan anak-anaknya. Pun demikian halnya dengan Fina dan anak-anak kami.
Alhasil, makan malam ini terasa canggung untuk Ais. Dia tampak grogi. Selama makan malam istriku lebih banyak diam. Kepalanya menunduk. Bahkan, aku bersumpah melihat tangannya bergetar saat memegang sendok dan garpu.
Naluri melindungiku begitu kuat untuknya. Berkali aku mengusap lembut punggungnya, berharap untuk menenangkannya.
Selepas makan malam, ibu mengajak kami berkumpul di ruang tengah. Sementara anak-anak main di ruang TV lantai atas.
"Umm... Ais tamatan SMK, Bu," katanya pelan. Matanya menyorotkan ketakutan. Kedua tangannya saling bertumpuk dengan cemas.
Aku yang duduk di sebelahnya, segera mengambil satu tangannya. Kusimpan dipangkuanku, di antara kedua telapak, sambil kubelai lembut.
"SMK? Gak kuliah?"
Ais melipat bibirnya lalu menggeleng.
"Kamu tau, Mas Aksa itu lulusan S2 Inggris?"
Ais mengangguk tapi tidak berkata lagi.
"Buat saya... pendidikan itu penting. Keluarga kami mengutamakan pendidikan. Ngaruh soalnya sama kualitas pola pikir, bersikap..."
"Bu, maksudnya apa ya?" potongku.
"Maksud Ibu, pasti jomplangnya pendidikan kalian ngaruh loh, Mas. Bukan hanya ke reputasi kamu di kantor, tapi juga kualitas rumah tangga kamu. Bisa-bisa kalian tuh misscom gitu. Kamu ngomong A, si Ais nangkepnya B..."
Terdengar suara cekikikan yang berusaha disembunyikan, namun gagal.
Kulihat ke sekitar... Fina dan May sama-sama menutup mulut dengan tangan untuk menyembunyikan fakta, merekalah yang tadi cekikikan.
Bagai anak kecil, mereka saling pandang dengan pandangan penuh muslihat.
Aku menggeleng.
"Mah, yuk pulang, dah malem," kataku pada Ais.
Dia menatapku lalu mengangguk.
Aku berdiri sambil memegang tangannya, Ais ikut berdiri bersamaku.
"Eh, mau kemana kalian?" tanya ibu, bingung.
"Pulang. Suasananya nggak nyaman. Aku gak mau ada siapa pun membuat istriku gak nyaman," jawabku datar sambil terus berlalu.
Ibu dan ayah ikut berdiri lalu menyusul langkah kaki kami.
"Duh, kamu tuh kok jadi sensitif gitu sih Mas. Maksud Ibu kamu tuh baik..., kata ayah.
Bla. Bla. Bla.
Ayah dan ibu terus bersahut-sahutan mengiringi langkah kaki kami menuju mobil. Aku abaikan keduanya.
Prioritasku adalah Ais. Aku akan membawanya pergi dari sini secepatnya. Aku perlu mendekapnya erat. Aku ingin... melindungi Ais. Bahkan dari orangtuaku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
RomanceWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...