Aku terbangun dari tidur di pagi ini. Sendirian. Ais tak ada. Kupikir dia sedang menyiapkan sarapan. Terlebih, anak-anak semalam tidur di apartemenku.
Bangkit dari tidur, aku bergegas ke kamar mandi. Setelah menyelesaikan urusanku di sana, aku berpakaian. Siap untuk bekerja.
Melewati pintu kamar yang kubuka, aku melangkah ke ruang makan. Suara-suara familier bersahut-sahutan kudengar.
Malik. Malaika. Dan... Dafina.
Saat tiba di ruang makan, mereka bertigalah yang kulihat duduk mengitari meja makan bulat 6 kursi.
Sejumlah hidangan tampak sudah tersaji di atas meja.
"Eh, Papi sudah bangun... ayo-ayo sini ikut sarapan," sapa Dafina tanpa malu.
"Ais mana?"
"Oh, dia lagi beli telor di mini market bawah."
"Hah? Telor? Ngapain? Ini makanan di meja udah banyak gini..."
Mataku seketika melihat ke arah meja.
"...ada sayur bayam, bakwan jagung, goreng sosis... Ais yang masak ya? Belanja dimana dia?"
"Ihh , Papi... langsung nebak Ais yang masak. Bisa jadi ini masakan Mami, kan?"
Aku menggeleng. "Seumur-umur, kamu selalu dimasakin pembantu atau beli makanan jadi."
"Ihh... bukan berarti gak bisa masak. Tapi sibuk ngurus anak-anak," katanya membela diri.
Kulihat anak-anak, tengah asyik bersantap, dengan antusias.
"Kakak, Adek... enak masakan Mamah Ais?" tanyaku pada mereka.
"Enakkk, Pi... enak..." jawab mereka bersamaan.
Dafina memutar bola matanya dengan malas.
Pintu apartemen dibuka dari luar, sedetik kemudian Ais masuk. Saat matanya menemukan mataku, wajahnya tampak ceria. Aku tersenyum menatap kecantikannya.
"Papah dah bangun, siap ke kantor? Sok sarapan dulu. Bentar ini telornya mau digimanain? Ceplok, dadar, atau dibikin orak-arik?"
Keningku berkerut.
"Telor? Gak usah Mah. Hidangan yang ada saja, sudah cukup."
Kali ini kening Ais yang berkerut.
"Loh, tadi kata Ibu Mantan, Papah kalau sarapan harus ada telor ceunah?" Lalu Ais mengalihkan pandangan pada Fina yang sedang makan, pura-pura tak berdosa.
"Nah... ini pasti modus Ibu Mantan yah? Ingin sarapan sama telor tapi gak mau capek? Ck...ck...ck... udah ngerepotin ikut makan gratis, ngelunjak," ucap Ais.
"Halah... cuma kata telor aja. Lagian belinya juga di mini market lobi. Tinggal pijit lift ke bawah. Gak pake tenaga juga," ujar Dafina, cuek.
Aku menggeleng.
"Fina... jaga sikap kamu. Ais sekarang adalah nyonya rumah di sini. Lagian, gak bisa yah kamu sarapan di apartemen kamu sendiri?"
Matanya membesar menatapku. Bibir Dafina seketika bergetar.
"Ya ampun, Papi... aku nih, Maminya anak-anak kamu... kenapa, kenapa kamu pelit sekali? Kamu rela aku pergi mengantar anak-anak ke sekolah dengan perut kosong? Aku tuh belum sempat belanja buat isi kulkas jadi di apartemenku gak ada yang bisa dimasakkkk..." pekiknya disela tangis yang dibuat-buat.
"Nah, Ais kok sempat belanja dulu?" Lalu mataku tertuju pada Ais.
"Kamu belanja dimana?"
"Di aplikasi hape. Ada layanan belanja sayur pesan antar. Yang ngasih tau tuh si Bu Mantan. Ais belanja pake hape Ibu Mantan. Tapi, yang bayar tetep Ais. Yang masak juga Ais..."
Dafina seketika meraungkan tangis.
"Iya... iya... salahin aja akuuu.... aku ini emang gak penting... bukan siapa-siapa... cuma wanita yang telah melahirkan dua orang anak... darah daging kamuuuu..." tangisnya sambil menunjuk padaku.
"Ahh... udah jangan nangis. Malu diliatin anak-anak. Sok Bu Mantan makan aja yang kenyang. Ibu mantan teh mau telor?"
Dafina mengangguk sambil mengusap air mata bayangan di pipinya yang kering.
"Di ceplok atau di dadar?"
"Ceplok setengah matang," bisiknya manja.
Ais mengangguk. Lalu berjalan menuju tempat Dafina duduk.
"Sok atuh bikin. Nih telornya. Tuh dapurnya. Kelihatan dari sini juga. Sok sana geura masak telor. Sekalian Ais juga mau. Neng geulis, akang kasep, mau ceplok telor?"
"Mau Mamah Ais... iya, aku mau..." jawab anak-anak bersahut-sahutan.
"Papah mau?"
Aku menggeleng. Gak usah. Makanan yang ada aja.
Ais mengangguk. Lalu bertepuk tangan.
"Sok, sok, cepet...cepet... jangan duduk mulu. Bu Mantan, cepet ceplokin telor, sana..." kata Ais memberikan perintah pada Fina.
Fina menggeleng. "Ihh... nyuruh-nyuruh gak sopan."
"Sok pilih, mau sarapan disini tapi ceplokin telor, atau sarapan di apartemen sendiri?"
Dafina memelototkan matanya pada Ais. Tapi kemudian berdiri membawa plastik belanjaan berisi telur, lalu melangkah ke arah dapur. Membuat telor ceplok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
RomanceWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...