Dafina

11.2K 1.4K 38
                                    

Aku memposisikan tubuh berbaring. Masih memeluk Ais.

Aisyah bangkit. Duduk ala sinden di sampingku. Wajahnya diturunkan sedikit ke arah wajahku. Matanya tertuju padaku.

Aku melingkarkan tangan ke area pinggangnnya. Tangan kuselipkan ke dalam menyentuh kulitnya di dalam kaos lengan pendek warna pink yang dikenakannya. Kubelai lembut kulit Ais yang mampu kusentuh di sekitar pinggang dan punggung bawah.

"Pah?"

Kuhembuskan nafas sebelum berbicara. Berusaha mencari ketenangan dan kesanggupan untuk menjelaskan.

"Dafina, ibu dari anak-anakku. Dia sahabat adikku May. Usianya 3 tahun di bawahku. Awalnya... dia hanya sebatas sahabat May. Sering berada di rumah. Bahkan kerap menginap. Dekat dengan keluarga..."

"Ohh... gitu... terus?"

"Singkatnya... kami mulai pacaran... sempat putus nyambung hingga akhirnya menikah. Selama menikah pun hubungan kami tidak mulus. Fina sempat meminta cerai berkali-kali secara lisan, tapi tak kugubris. Nikah itu seharusnya sekali seumur hidup. Apalagi tidak ada orang ketiga di antara kita... jadi rasanya tidak perlu..."

Ais mengangguk sambil menyimak perkataanku.

"Suatu hari pernah dia nekad mengajukan perceraian ke pengadilan agama. Itu pun aku berusaha pertahankan hingga perceraian kami urung di sidang mediasi..."

"Terus?"

Aku menghembuskan nafas sambil mengusap kasar wajah dengan satu tangan, sementara tangan lainnya masih di dalam kaos Ais.

"Pah?" desaknya.

"Sekitar 5 tahunan lalu, Fina kembali bersikeras minta cerai. Kali itu sudah tak bisa didamaikan di sidang mediasi. Pada akhirnya, pernikahan kami berakhir di ketukan palu hakim."

Ais mengangguk. "Ohh... duda cerai ya..."

Aku menatapnya. "Iya..."

"Anak-anak ikut siapa?"

"Saat perceraian tak terelakan...aku memikirkan yang terbaik untuk anak-anak. Kupikir, anak-anak lebih baik ikut mamanya. Aku keluar dari rumah yang sebetulnya kubeli dari hasil jerih payah sendiri, sewaktu belum menikah. Tapi... demi anak-anak... aku meninggalkan rumah itu untuk Fina."

Ais kembali mengangguk. Keningnya berkerut. "Terus?"

"Terus... aku mulai hidup dari awal lagi... tapi tidak kembali ke rumah orangtua. Lebih memilih indekost di dekat kantor... baru sekitar tiga tahunan lalu aku membeli unit apartemen di area Kemang. Posisinya strategis. Relatif dekat ke kantor."

"Ohh... jadi, Papah sudah tiga tahunan ini tinggal sendirian di apartemen gituh?"

Aku melipat bibir. "Umm... secara teknis, iya..."

"Secara teeknisss?"

Aku mengangguk.

"Prakteknya gimana?"

Cerdas.

Dibalik keluguannya... Ais adalah seorang perempuan cerdas. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres dari jawabanku.

Perlahan aku bangkit. Kedua kaki kuturunkan. Hingga aku berada pada posisi duduk di tepi ranjang. Kepala kuturunkan. Jemari kedua tangan menyisir kasar rambut pendek berombakku.

Ais ikut bergeser. Kini duduk tepat di belakangku. Tangannya menyentuh bahuku.

"Pah? Cerita atuh... jadi teknisnya kumaha?"

Aku kembali menghembuskan nafas sebelum mengangat kepala. Pandangan tertuju ke dinding di hadapanku.

"Sekitar 2 tahun lalu... Fina menjual rumah yang kuberikan padanya. Lalu dia pindah ke gedung apartemen yang sama denganku..."

"Hah? Sekarang Bu Dafina... mantan istri Papah tinggal satu gedung kitu?"

Aku mengangguk.

"Umm... cuma satu gedung?"

See... she's a smart smart woman.

"Satu... lantai juga..."

"Satu laantai?" tanyanya tak percaya.

Aku melipat bibir lalu mengangguk. Pandangan kini tertuju pada kedua telapak tangan di pahaku.

"Ada lagi yang harus Mamah tau selain itu?"

Luar biasa Ais.

Dia bisa menangkap ada sesuatu yang masih kusembunyikan.

Perlahan aku mengangkat kepala lalu menoleh padanya.

"Ada..."

"Apa lagi?"

"Dafina dan anak-anak..."

"Iya?"

"Tinggal di unit apartemen... di seberang unit apartement yang kutinggali..."

"Aapaaa?" pekiknya.

Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang