Seminggu kemudian...
Ting.
Pintu lift terbuka. Aku bergegas melangkah ke luar. Menuju unit apartemenku. Sejak seminggu lalu aku pergi ke lokasi proyek di Batam. Rencananya akan tinggal di sana selama dua minggu. Tapi aku tak sanggup.
Setiap harinya adalah siksaan.
Aku....
Rindu pada Aisyah.
Tak sabar aku bergegas menuju pintu apartemen. Sengaja kedatangan ini tak kukabarkan sebelumnya. Kejutan. Itulah yang kupikir.
Lalu aku melakukan sesuatu yang merupakan faktor kebiasaan... tepatnya sejak Dafina memutuskan untuk membawa anak-anak pindah ke gedung apartemen yang sama denganku.
Tuas pintu kutekan ke bawah, pintu kudorong. Terbuka. Seperti yang sudah sering kudapati saat pulang ke apartemen... pintu tak dikunci.
Huh.
Aku menggeleng. Kalau sudah begini, bisa dipastikan Dafina dan anak-anak ada di dalam.
Sesungguhnya, aku sedang egois. Rasanya, ingin berduaan saja dengan istriku.
Masuk ke ruang utama, suara games PS mendominasi ruangan. Di atas karpet di hadapan TV, aku melihat Malik dan Raka—anaknya May—serius memainkan permainan yang tersaji di layar TV.
Umm...
Apa itu artinya May ada di sini juga?
"Malik?"
Putraku menoleh. Lalu dia tersenyum semringah.
"Papiii, udah pulang ya?"
Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Om Aksa..." sapa Raka.
Aku mengangguk, masih tersenyum. "Raka."
"Yang lain ke mana ya?"
"Malaika dan Rayi lagi main Barbie di kamar," terang Malik.
"Iya," timpal Raka mengangguk menguatkan keterangan Malik.
Raka dan Rayi, keduanya anak-anak May. Usia Raka setahun di bawah Malik. Sementara usia Rayi, setahun di bawah Malika.
Aku mengangguk menerima keterangan mereka.
"Mamah Ais mana?"
"Di balkon sama Mami dan Tante May," terang Malik.
Keningku berkerut mendapat jawaban itu. Mataku seketika memperhatikan dinding kaca pemisah antara ruang utama dan area balkon. Tirainya ditutup. Bukan hal aneh. Sorot matahari yang masuk ke dalam ruang, terkadang terasa mengganggu. Terutama bagi Malik yang saat ini sudah kembali asyik bermain PS dengan Raka.
Kuperhatikan pintu menuju area balkon juga tertutup. Ini pun bukan hal tidak wajar. Apalagi saat ruangan ini AC nya menyala.
Aku meninggalkan travel bag troli dan tas kerjaku begitu saja, menuju pintu itu.
Perlahan aku menggeser pintu, keluar lalu menutup pintu itu kembali.
Mereka di sana, berdiri di ujung pojok balkon ini. Posisinya, Fina dan May mengepung Ais yang berdiri di pojok.
Sepertinya mereka tengah berada dalam pembicaraan serius, sehingga kehadiranku abai mereka sadari.
"Harusnya kamu tau diri, kamu siapa... Mas Aksa itu siapa," kata May sambil menunjuk wajah Ais yang tubuhnya paling mungil dan pendek dibandingkan adikku ataupun Fina.
What the fuck?! Aku menggeram dalam hati sambil perlahan melangkah. Sengaja aku tidak buru-buru, ingin tahu lebih banyak tentang situasi ini.
Ais membusungkan dadanya. Dia berkacak pinggang. Wajahnya didongakkan dengan berani menatap adikku.
Sebelum istriku berbicara sepatah katapun, Fina bersuara.
"Aku dan Papinya anak-anak... kami dekat dari dulu... bahkan dari zaman aku masih remaja. Jiwa kami saling mengenal dan bertumbuh bersama. Melewati banyak hal... suka-duka... senang-sakit... hubungan kami memang tidak selalu mudah... tapi, pada satu titik, kami selalu menemukan jalan untuk kembali..."
Mata Ais yang saat ini menatap Fina, terlihat mulai membentuk kolam air. Bibirnya dilipat. Walau gesturnya masih menampakkan keberanian.
"Maksud Fina itu, kamu harus sadar...posisi kamu di sini, sementara. Cepat atau lambat kamu pasti tersingkir. Apalagi aku udah tau alasan Mas Aksa nikahin kamu... gak lebih dari faktor kemanusiaan. Nolongin kamu. Nah kamu yang udah ditolongin, ya bok tau diri gitu loh... mundur baik-baik..." kata May dengan nada menyindir.
May tahu? Dari mana dia... ah, persetan!
"May!" bentakku.
Mereka bertiga tampak melompat kaget mendengar suaraku. Adikku dan Fina menoleh padaku dengan wajah pucat. Namun, mataku hanya fokus pada Ais.
"Mah, sini," kataku sambil menarik dua jariku ke arah Ais, sebagai isyarat agar dia mendekat.
Aisyah yang air matanya sudah jatuh segaris perlahan berjalan menuju aku. Secepatnya setelah dia mendekat, aku merengkuhnya dalam dekapan. Wajahnya kusembunyikan di dada.
Jariku kemudian menunjuk ke wajah May dan Fina bergantian.
"Kamu... kamu... pergi dari sini," perintahku.
"Pi-piii..." kata Fina.
"Sekarang. Juga. Bawa anak-anak. Aku butuh waktu berdua saja dengan... istriku!" saat mengucapkan kata terakhir aku menggunakan intonasi kuat penuh penekanan. Aku ingin mereka sadar. Ais... adalah istriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahligai Adhyaksa #1 Unplanned Love Series
Storie d'amoreWarning: This is teaser version. Thank you.... Namaku Adhyaksa Yustisia, CEO sebuah perusahaan pengembang properti. PT. Griya Hijau Indah, itulah perusahaan yang kupimpin. Sebagai CEO aku seharusnya tidak berkantor di kantor perwakilan di lokasi pro...