4. Confused

719 51 4
                                    

"Apa ini Reen? Sejak kapan kau menjadi pembolos?"

Alex menatap adiknya tak percaya. Apa yang sebenarnya ada di pikiran Kayreen sampai ia membolos? Pikir Alex.

"Maafkan aku... aku hanya, membutuhkan waktu untuk menenangkan diri." Kayreen berujar pelan, enggan membuat emosi kakaknya semakin menggebu. Kayreen tahu ia telah melakukan kesalahan. Ditambah kakaknya yang sudah pasti dalam keadaan lelah, karena baru pulang dari kantor.

"Menenangkan diri? Apa yang kau maksud dengan menenangkan diri?" Alex berhenti sejenak.

"Apa maksudmu kau masih memikirkan semua hal-hal memuakkan itu? Bahkan di sekolah? Oh Tuhan, Reen... berapa kali harus kukatakan, kau tak bersalah. Kau dipaksa. Kau harus sadar itu. Bila kau merasa tertekan, bilang padaku. Katakan semuanya padaku. Aku kakakmu, bukan? Aku juga tahu apa yang adikku rasakan. Kau bisa membagi segalanya denganku...." Alex mengusap pipi Kayreen penuh kasih sayang dengan ibu jarinya.

Sungguh, Alex tak menyangka adiknya merasa begitu tersiksa dengan semua ini.

"Aku... aku hanya tak mau menyusahkanmu, Kak. Aku terlalu banyak membuatmu kesusahan sekarang... bahkan dulu." Kayreen menahan agar air matanya tak meluncur.

"Hei... siapa bilang kau menyusahkanku? Aku bahkan tak pernah merasa begitu." Alex tersenyum seraya mengusap air mata Kayreen yang tiba-tiba meluncur. Kayreen merasa sangat beruntung memiliki Alex. Bagaimana Alex bisa sebaik ini setelah apa yang ia lakukan? Sungguh Kayreen merasakan rasa sayangnya untuk Alex berlipat.

"Kau adikku... jangan pernah merasa seperti itu lagi. Jangan pernah berkata bahwa kau menyusahkanku. Kau tak pernah seperti itu. Kau adik manisku, dan akan selalu seperti itu. Lolly..."

Kayreen langsung berhambur memeluk kakaknya. Panggilan itu... oh, Kayreen benar-benar merasa sangat bahagia sekarang.

"Kita bisa ke sekolahmu besok."

***

"Aku sibuk besok, kau tahu itu."

Justin berdecak mendengar penolakan ayahnya. Uh, ayah? Baiklah, Jeremy memang ayahnya. Namun dia seperti bukan seorang ayah bagi Justin. Bahkan Jeremy tak pernah mengunjungi apartemen Justin. Tak pernah menelpon Justin. Bahkan mungkin tak pernah menganggap Justin. Namun, Jeremy tak pernah lupa mengirim uang ke rekening milik Justin. Uang? Bukan itu yang Justin butuhkan. Justin hanya mau Jeremy selalu ada untuknya. Menjadi figur ayah yang memberinya nasihat, menjadi panutan untuk Justin.

Namun sepertinya Justin takkan bisa mendapatkan semua hal yang semu itu.

"Lalu kapan? Apakah kau tak bisa meluangkan waktumu sedikit saja untukku, Dad?"

"Demi Tuhan, Justin. Aku sibuk." Jeremy memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Ia pusing memikirkan anak satu-satunya itu.

"Selalu seperti itu. Sibuk," Justin memberi jeda.

"Apa aku ini tak penting untukmu? Atau... aku ini sebenarnya bukan anakmu?" ucap Justin seraya tersenyum getir.

"Apa yang kau katakan? Ha? Tentu saja kau anakku." Jeremy menatap Justin lekat, tak percaya dengan apa yang baru saja putranya katakan.

"Kalau kau menganggapku anakmu, kau pasti akan peduli padaku. Kau pasti bisa meluangkan waktumu untukku, barang sebentar saja."

"Baiklah, kalau itu maumu." kata Jeremy akhirnya.

"Aku tak memaksamu. Tak usah datang kalau aku hanya menjadi beban bagimu."

Justin berjalan menjauh dari meja Jeremy. Ia membuka pintu ruangan Jeremy lalu menutupnya dari luar dengan keras.

Complicated (JB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang