Lima belas menit lagi bus akan segera berangkat ke Jogja. Dengan sedikit berat hati, akhirnya Deev menyetujui untuk berangkat. Mungkin akan ada hal menyenangkan yang akan terjadi. Hitung-hitung untuk menambah pengalaman. Ya, pengalaman buruk bersama makhluk aneh bernama Shakeel.
Ah! Nama itu lagi, kenapa akhir-akhir ini namanya selalu muncul dan berputar-putar di kepala Deev? Seperti kaset rusak yang terputar tanpa henti dan tanpa kenal waktu. Jika kekesalan Deev terhadap Shakeel seperti suhu tubuh manusia yang bisa diukur dengan termometer, pasti sekarang sudah sampai di tingkat puncak.
"Kamu mau ke Jogja jalan kaki?" ujar seseorang membuyarkan lamunan Deev.
"Bus nya udah mau berangkat. Ayo naik," lanjutnya.
"Ngapain kamu disini?" balas Deev ketus.
"Saya udah bilang kan, bus nya udah mau berangkat. Kalau kamu mau jalan kaki sampai Jogja sih, ya udah, saya masuk duluan." Shakeel mengedikkan bahu dan berlalu meninggalkan Deev.
"Bisa nggak sih kamu nggak nyebelin?!" teriak Deev sambil menyusul langkah Shakeel cepat.
Semua kursi yang ada di dalam bus sudah bertuan. Tinggal dua kursi kosong yang tersisa. Satu kursi telah terisi oleh Shakeel. Dengan berat hati, Deev duduk di kursi yang tersisa. Shakeel menoleh ke arah Deev dengan mata elangnya.
"Jangan geer, aku duduk di sini karena cuma kursi ini yang tersisa," ujar Deev.
Ia menatap Deev sebentar, lalu menoleh ke arah jendela bus. Sungguh, cewek ini cerewet sekali. Bisa-bisa Shakeel akan berujung di dokter THT ketika sampai di Jogja nanti. Ia mengampil Ipod di saku jaketnya. Memasang earphone, dan mulai mengabaikan manusia lain yang duduk di sebelahnya.
Lagi-lagi diabaikan. Kenapa Deev selalu kesal dengan sifat Shakeel yang seperti ini? Selalu cuek, dingin, dan tak peduli dengan sekitar. Deev tak suka jika tidak ada yang mengajaknya berbicara atau mengobrol di saat-saat seperti ini. Apalagi, Deev mabuk kendaraan darat. Mengenaskan. Jangan sampai kumat disini, Deev. Jangan sampai membuat suasana semakin buruk.
"I'm waiting in line to get to where you are. Hope floats up high along the way. I forget Jakarta, all the friendly faces in disguise.."
Mata laki-laki itu terpenjam sembari menyenandungkan lagu yang ia dengarkan. Alis tebal, bulu mata lentik untuk ukuran laki-laki, hidung mancung, rahang yang terbentuk sempurna. Tampan. Bukannya Deev baru menyadari saat ini, tapi Shakeel lebih tampan jika seperti ini, tingkat menyebalkannya akan berkurang banyak jika seperti saat ini. Sayangnya Shakeel terlalu dingin dan egois. Deev tidak suka kedua sikap Shakeel yang itu.
"Saya bukan bahan tontonan yang bisa kamu liatin kaya gitu."
Deev terperanjat. Apa yang dia lakukan sih, bodoh, Deev! Bodoh! Bisa-bisanya dia malah terjebak berimajinasi dengan wajah Shakeel.
"Jangan geer," jawab Deev seketus mungkin dan membuang muka menjauh dari Shakeel.
Memalukan. Shakeel terkekeh. Ini kali pertama Deev melihat Shakeel tertawa. Ternyata manusia es batu itu bisa tertawa juga. Deev kira, hidupnya hanya penuh dengan kata 'datar' saja.
"Nggak usah ketawa. Kamu serem kalo ketawa."
"Maksud kamu?"
"Ya kamu nyadar nggak sih, kamu itu terlalu dingin jadi orang. Kamu nggak pernah sekali pun peduli sama apa yang ada di sekitar kamu. Kamu seakan-akan punya dunia sendiri, Keel. Kamu itu kaya batu es. Kamu seakan-akan selalu bikin orang-orang nggak nyaman setiap ada di dekat kamu," ujar Deev jujur.

KAMU SEDANG MEMBACA
Uncountable Memories
Teen FictionMenurut kamu, memori itu sebuah hal yang bisa terhitung atau tidak? Shakeel terbiasa hidup dengan memori yang penuh luka. Jika didefinisikan dengan warna, hidupnya yang semula indah seperti ketika warna pelangi disatukan, tiba-tiba menjadi hitam sec...