Impian

213 23 0
                                    

Lima belas menit berlalu, motor Shakeel telah berhenti di depan gerbang warna putih yang sudah beberapa kali ia lihat. Setelah Deev turun dari motor, gadis itu berterima kasih, lalu masuk ke dalam rumah dan meminta Shakeel untuk menunggu sebentar. So, di sinilah Shakeel. Duduk di atas motor vespa birunya sambil menatap mega mendung yang masih bergelantungan. Angin yang bertiup membuat rambutnya yang rapi menjadi sedikit berantakan. Ia mengetuk-ngetukan kakinya di aspal yang masih menyisakan genangan. Tak lama setelah itu, Deev keluar dari rumahnya masih dengan seragam sekolah.

"Maaf lama, ini, jas hujan, siapa tahu nanti hujan lagi." Deev menyerahkan tote bag kecil yang berisi jas hujan miliknya.

"Tapi maaf, warnanya warna cewek, soalnya adanya cuma itu, daripada kamu kehujanan nanti," lanjutnya sambil memegang tengkuk lehernya. Shakeel melihat ke dalam tote bag itu sebentar, di dalamnya ada jas hujan berwarna peach, dalam hati ia menahan tawa melihat ekspresi wajah Deev.

"Nggak apa-apa. Makasih ya."

"Aku yang harusnya bilang makasih."

"Sama-sama, saya pamit ya."

"Hati-hati di jalan, Keel."

Shakeel tersenyum singkat lalu menyalakan mesin motornya, berbalik arah, lalu membelah aspal dan sisa-sisa hujan. Sepuluh menit setelah itu, hujan kembali turun, seakan semesta memang menakdirkan Shakeel untuk mengenakan jas hujan peach milik Deev.

***

Kamar Shakeel terasa sesak hari ini. Milan sedang duduk di atas kasur sambil memegang handphone miliknya. Sam tengah menghabiskan setoples kue cokelat kering yang dibawa Dirman. Oh iya, Dirman dan Ghani sedang duet lagu dangdut yang sedang naik daun akhir-akhir ini, tak perlu ditanyakan lagi.

"Guys, kalian semua pernah mikir nggak sih masa depan kita akan gimana?" celetuk Sam tiba-tiba.

"Gimana apanya?" Milan meletakkan ponselnya dan bergabung dalam obrolan. Raut wajah Sam begitu serius. Dirman dan Ghani menghentikan musiknya, pun dengan Shakeel yang kini duduk menghadap keempat sahabatnya.

"Ya, lo pernah ngerasain nggak sih, udah tiga tahun kita sahabatan. Sekarang kita udah mau lulus, tapi kalau kalian sadar, kita nggak pernah sama sekali ngomongin besok kita mau kuliah di mana, besok kita mau apa, apa cuma gue yang bertanya-tanya?" Sam mengatakannya dengan raut wajah serius, sangat jarang bisa melihat Sam terlihat dewasa seperti ini. Keempatnya menganggukkan kepalanya.

"Iya juga sih. Gue ngerasa kaya selama ini kita cuma main-main aja. Iya nggak sih?" tanya Shakeel.

"Gue yakin, setiap dari kita pasti punya mimpi masing-masing, so are we. Kita cuma nggak pernah ngobrolin itu berlima."

"Bener yang dibilang Milan barusan, I'm sure all of us have a dream, a big dream."

"Kalian kira-kira mau nerusin ke mana habis ini? Gue tahu gue bandel, gue brutal, tapi nggak semua orang tahu kalau gue juga selalu mikirin masa depan."

"Uhhh, Samudera udah dewasa ternyata," goda Dirman sambil mencolek bahu Sam, yang berujung toyoran di kepalanya.

"Gue pengen masuk kedokteran. I'm not sure whether I can do it or not, but I hope so." Ghani menjadi yang pertama mengutarakan impiannya.

"Keren Ghan, Dr. Muhammad Ghani Aziz, cocok juga buat dijadiin plang di depan rumah praktik lo," puji Dirman yang membuat Ghani menggaruk tengkuknya.

"Gue pengen masuk manajemen dan jadi entrepreneur. Ya, badung-badung gini gue juga cuma remaja delapan belas tahun biasa, kan? Sama kaya anak-anak lain dengan mimpi-mimpi besar mereka. Lo, Man?" Sam melempar satu keping kue cokelat kering ke arah Dirman.

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang