Kebetulan

238 27 2
                                    

Terlalu banyak kebetulan yang terjadi akhir-akhir ini. Entah ini kebetulan atau skenario yang digariskan Tuhan, hari-hari Deev selalu penuh dengan seseorang bernama Shakeel. Kebetulan yang terakhir terjadi hari ini, di perpustakaan sekolah. Deev sedikit kaget ketika tiba-tiba Shakeel muncul di hadapannya. Setiap laki-laki itu muncul, bayangan akan suasana kota Jogja kala itu kembali hadir. Manisnya gulali, hangatnya wedang ronde, serta dinginnya angin malam yang tak bisa dilupakan begitu saja. Ketika Deev mengingat suasana kota Jogja, otomatis Deev akan mengingat Shakeel. Bagaimana laki-laki itu tertawa di hadapannya, wajah datar tanpa senyum andalannya, semua terekam dengan jelas di kepala Deev.

Sesulit apa pun Deev mencoba melupakannya, bayangan itu selalu muncul. Seakan ada satu sisi menarik dari Shakeel yang ingin selalu Deev ketahui. Satu manusia unik, tetapi seakan punya sisi gelap yang tidak ia tunjukkan kepada siapa pun. Namun Deev bisa melihatnya. Deev bisa melihat kesedihan yang muncul setiap Shakeel menulis di buku jurnalnya. Deev bisa melihat luka yang menganga ketika laki-laki itu tertawa. Sebenarnya kamu siapa sih, Keel?

"Deev!" tegur Yasmin membangkitkan Deev dari lamunannya.

"Eh, iya, kenapa?"

"Lo dari tadi ngelamun aja kenapa sih?"

"Maaf, maaf, tadi lo cerita apa?"

"Deev!" tukas Yasmin sambil menyilangkan tangannya kesal.

"Lo mikirin apa sih?" tanya Aline sambil menyendok kuah baksonya.

"Nggak ada apa-apa beneran deh. Gue cabut duluan ya, mau ketemu Bu Ita di kantor," jawab Deev lalu melesat pergi meninggalkan Aline dan Yasmin yang saling bertatapan.

"Apa lo mikirin apa yang gue pikirin Lin?" Yasmin menatap Aline seolah sedang berpikir.

"Shakeel."

"That's right."

Keduanya mengangguk. Ini kali pertama mereka merasa seolah Deev menyembunyikan sesuatu. Entah itu sebuah cerita atau malah sebuah rasa.

***

Hingga kaki Deev melangkah di koridor pun, kepalanya masih terisi penuh dengan nama Shakeel. Seperti, perasaan yang pernah hilang kembali lagi saat ini. Ini bukan perasaan biasa. Ini bukan perasaan yang ia rasakan ketika dekat dengan Raga. Bukan perasaan persahabatan. Ini lain. Terlalu rumit untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan tak masuk akal yang ia alami. Nggak, nggak mungkin, Deev. Batinnya sambil menggelengkan kepala. Bruk.

"Aduh!" ujar Deev sambil memegangi kepalanya yang menabrak tubuh seseorang.

"Kamu lagi, kamu lagi." Deev kenal suara milik siapa itu.

"Maaf, aku nggak sengaja. Kok ada kamu di sini sih?"

"Seharusnya saya yang tanya sama kamu."

"Sebenarnya, setiap pertemuan kita itu selalu kebetulan, atau memang udah bagian dari skenario Tuhan, sih?"

Shakeel geleng-geleng kepala lalu berlalu meninggalkan Deev. Deev mengikuti langkah panjangnya. Kenapa Deev selalu penasaran dengan apa pun yang dilakukan Shakeel? Langkah Shakeel berhenti di taman sekolah. Ia dapat melihat bayangan laki-laki itu dari belakang. Ia bisa melihat dengan jelas laki-laki itu menarik nafasnya panjang lalu menghembuskannya pelan. Deev tahu Shakeel sedang memikirkan sesuatu. Deev mendekat dengan hati-hati. Ia tidak boleh ketahuan lagi kali ini. Laki-laki itu menengadahkan kepalanya menatap langit yang seolah ikut bersedih. Tak lama setelah itu, gerimis turun menyambut rasa penasaran Deev dan kesedihan Shakeel.

Deev berlari menuju koridor sambil menutupi kepalanya. Ia masih menatap Shakeel dari tempatnya berdiri. Laki-laki itu belum juga berpaling. Seolah malah menikmati setiap tetes hujan yang mulai deras. Entah berkat dorongan siapa, Deev malah menuruti kakinya untuk berjalan ke tempat yang sama. Melawan rinai hujan yang agak sakit ketika mengenai tubuh.

Ia menepuk pundak laki-laki itu pelan dan membuatnya menengok. Wajahnya yang basah tak mampu menutupi bahwa laki-laki itu usai menitikkan air mata.

"Hujan-hujanan nggak akan menyelesaikan masalah," teriak Deev di tengah kerasnya suara hujan.

"Nanti kamu malah bisa sakit, terus nambah masalah lagi," lanjutnya.

Laki-laki itu tetap diam. Ia menundukan kepalanya, tangannya menggenggam kuat.

"Gimana caranya untuk melupakan seseorang?" ujar Shakeel sambil menatap Deev sendu.

Deev sedikit heran dengan apa yang barusan Shakeel ucapkan. Bukannya menjawab, ia malah menarik tangan Shakeel menuju koridor. Menghindari rintik hujan dan tiupan angin yang mulai membuat tubuh menggigil.

"Cukup dengan mengikhlaskan," ujar Deev menatap Shakeel sambil tersenyum. Laki-laki itu menoleh dengan penuh tanda tanya.

"Cukup dengan mengikhlaskan apa yang sudah pergi, lalu semua akan baik-baik aja."

"Semua nggak akan baik-baik aja. Rasanya sesak, Deev."

"Aku nggak tahu apa masalah kamu. Yang jelas, cepat atau lambat, yang terluka akan menemukan penyembuhnya, yang sakit akan menemukan penawarnya. Aku harap, kamu akan menemukan itu." Deev menepuk pundak Shakeel dua kali lalu berjalan menjauh.

"Are you an angel, Deev?" gumam Shakeel lirih setelah punggung perempuan itu menjauh.

Jantung Deev berdegup terlalu cepat hanya karena ini. Ia memilih untuk pergi karena tak kuat lagi menatap manik mata laki-laki dengan hoodie hijau tua bertuliskan 'stranger'. Deev tidak tahu kenapa ia bisa mengatakan hal seperti itu di depannya. Deev tidak bisa menyimpulkan dengan segera apa yang ia rasakan saat ini. Satu hal yang jelas, Deev tidak suka melihat laki-laki itu bersedih.

Deev melangkahkan kaki menuju halaman utama sekolah dan mendapati Raga duduk di atas motor sambil memegang ponselnya. Sesekali laki-laki itu tersenyum sendiri hingga matanya terlihat menyipit. Deev berjalan mendekat dengan hati-hati.

"Ehm. Ada apa sih, kok senyum-senyum kaya orang sinting gini."

"Gue jadian sama Nami," ujar Raga enteng.

"Seriously? Sejak kapan lo ngedeketin dia?" Deev terkejut pasalnya selama ini ia tidak pernah melihat Raga dekat dengan Nami, anak kelas sepuluh.

"Raga gitu, udah ayo gue anter pulang."

"I still can't believe it, dude."

"Yes, you do," balasnya sambil tertawa.

***

Shakeel merebahkan dirinya di ranjang, masih dengan balutan seragam sekolah. Lemah karena masa lalu memang bodoh, tapi tidak menghargai masa lalu jauh lebih bodoh. Dan Shakeel bodoh karena kedua hal itu. Mengingat semua hal buruk yang terjadi memang menyedihkan, tetapi setidaknya ia punya kenangan indah untuk disisakan. Bagaimana caranya tersenyum dan tertawa waktu itu, bagaimana caranya bercanda, bagaimana harinya kembali indah selepas setengah dari hidupnya seakan hilang. Gadis itu seolah mengembalikan dunia Shakeel yang hilang, membuka tabir gelap yang mengelilinginya. Hingga pada akhirnya, gadis itu kembali yang membuat tabir gelap itu kembali hadir.

"Zay, kalau gue bilang, gue suka sama lo, lo percaya enggak?" ujarnya spontan tanpa ada rasa gugup, gadis itu diam dengan tatapan terkejut.

"Lo serius?"

"I know it's crazy. But seriously, I just wanna be honest with myself."

Gadis itu tersenyum sambil menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Angin di taman sekolah bertiup cukup kencang seolah mengimbangi perasaan dua insan yang menggebu-gebu.

"Lo mau nggak jadi cewek gue?"

"Gue nggak bisa janji untuk buat lo selalu bahagia. But, I'll try to do my best. So, will you?" lanjutnya.

"Thank you. I'll try my best too."

Selalu menyakitkan setiap Shakeel mengingat momen itu. Tapi semuanya membaik ketika ia mengingat apa yang Deev katakan, yang terluka akan menemukan penyembuhnya, yang sakit akan menemukan penawarnya. Shakeel mencoba untuk percaya itu.

"Are you really a human, Deev?" ujarnya lirih sebelum bangkit untuk mengganti baju seragamnya.

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang