Baikan

215 19 0
                                    

Syukurlah, orang asing sepertinya juga tidak akan berani mengambil buku milikmu itu, Deev.

Perempuan itu masih duduk di tempat yang sama saat balasan pesan dari Shakeel masuk. Terlalu sulit meninggalkan tempat senyaman ini. Entah kenapa, suasana ruang baca yang sunyi dan jalanan Jakarta yang riuh di luar sana menjadi perpaduan tersendiri bagi Deev. Ia jadi ingat percakapannya beberapa hari yang lalu di bakery. Tentang jalanan Jakarta dan mobil yang mengisinya. Deev masih ingat betul setiap kata yang Shakeel ucapkan waktu itu. Ah, dia lagi.

Memangnya kenapa?

Balasan itu ia kirimkan dua menit setelahnya. Deev kembali memandang notes yang menempel di sampul buku. Saya sudah bertemu dengan penyembuh yang saya cari. Deev ingin ikut bahagia, tetapi masih ada yang mengganjal. Ada banyak pertanyaan yang timbul memenuhi isi kepalanya sekarang. Apa Shakeel sudah bertemu dengan orang baru yang mampu menghapus sisa-sisa luka yang tertinggal? Apa dia sudah menemukan bahagianya? Semesta, bisa kau beri tahu aku dia siapa? Rasanya masih tidak siap untuk melihat Shakeel bersama orang lain. Iya, akan jadi aneh kalau Deev kecewa karena dia bukan siapa-siapa. Dia tidak berhak mengatur hidup orang lain, karena bumi bukan saja mengitarinya. Hanya saja, akan sakit rasanya jika hal itu benar-benar terjadi.

Getaran ponsel memecah lamunan dan segala tanya yang ada di kepala Deev. Buru-buru ia menyautnya dari meja, berharap orang yang baru saja dia pikirkan membalas pesannya. Namun, nama Mbak Pipit yang muncul di sana.

Deev, mau bantuin mbak bikin kue nggak?

Deev menghela nafasnya pelan dan mengunci ponselnya kembali. Ia bergegas keluar dari toko buku itu, bersama dengan buku hitam bergambar daisy dan segala tanya yang belum ada jawabnya.

***

Mobil sedan keluar dari gerbang rumahnya ketika Deev turun dari ojek. Ini mobil siapa? Setelah membayar ongkos dengan uang yang pas, Deev bergegas masuk. Bunda sedang membereskan dua cangkir kopi yang ada di meja tamu.

"Assalamualaikum, bunda."

"Waalaikumussalam. Eh, sudah pulang ya?"

"Itu tadi mobil siapa, bun?"

"Rekan bunda."

Deev mengangguk. Namun, ekspresi aneh yang muncul di wajah Bunda membuatnya berpikir dua kali untuk masuk ke kamar. Seperti ketakutan dan gelisah yang bercampur menjadi satu.

"Bunda nggak apa-apa?" Bunda mengangguk sambil tersenyum, lalu masuk ke dapur tanpa mengucapkan apa pun.

Deev bergegas menuju kamar dan mencoba tidak peduli. Mungkin hanya perasaannya saja. Ia meletakkan tasnya di kursi belajar lalu mengecek ponsel. Semenjak nama itu tersimpan di kontaknya, setiap ponsel berdering, jantungnya akan berdegup lebih cepat. Berharap bahwa pesan yang masuk benar-benar dari orang yang ia inginkan.

Karena buku itu memang cuma buat Deev, hehehe.

Deev tersenyum kecil.

"Deev!" teriak Mbak Pipit dari lantai bawah memanggil namanya.

"Iya, bentar!" Deev mengeraskan suaranya agar Mbak Pipit mendengarnya. Deev sampai lupa kalau ia akan membantu Mbak Pipit membuat kue.

Deev segera turun ke dapur. Mbak Pipit sudah sibuk dengan celemek motif bunga dan tepung yang tercecer.

"Ih, kok tepungnya ke mana-mana sih, mbak?"

"Tadi tumpah, Deev." Deev menganggukkan kepalanya sambil memakai celemek milik Bunda.

"Bolu cokelat lagi, Mbak?"

"Hehe, iya. Mas Adam besok ulang tahun. Dia kan suka kue itu." Mbak Pipit tersenyum dengan pipi memerah.

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang