Berubah

232 24 0
                                    

Deev melangkah ke kantin dengan lesu. Ekspresi yang sama juga nampak di wajah Aline. Soal kuis dadakan matematika tadi begitu menguras isi kepalanya. Berbeda dengan Yasmin yang nampak tenang karena ia memang lebih di mata pelajaran yang dianggap momok bagi sebagian siswa SMA. Mereka memesan minuman dan duduk di bangku sudut ruangan. Kantin masih sepi karena kelas mereka keluar lebih dulu dari kelas yang lain.

"Gila deh, kepala gue mau pecah rasanya," gerutu Aline sambil membenarkan letak poninya.

"Itu emang soalnya yang susah atau emang gue yang gak paham sih?" Deev ikut menggerutu sambil meminum es cokelatnya.

"Iya, perasaan tadi malem gue udah ngehafalin semua rumusnya. Kok tetep aja gue nggak secanggih Yasmin."

"Lin, gue kasih tahu ya, matematika itu cuma butuh dimengerti, bukan dihafalkan. Let me tell you the secret of math. The answer is hidden in the question." Yasmin menimpali setelah terus-menerus menjadi pendengar.

"Gak paham gue, logika gue belum nyampe situ. Mending beli makan, laper."

Deev dan Yasmin terkekeh sambil meneguk isi gelas minuman masing-masing.

"Gimana Milan, Yas?" tanya Deev hati-hati.

"Gue denger dia masih hidup."

"Yas serius ih." Aline ikut kesal menghadapi sifat Yasmin akhir-akhir ini.

"Ya nggak gimana-gimana. Gue udah nggak peduli lagi."

"Lo beneran nggak ada niatan untuk balikan dan memperbaiki semuanya?"

"Buat apa balikan kalo akhirnya terluka lagi? Sama aja kaya gue udah tahu di situ ada lubang, tapi gue nekat masuk."

Aline dan Deev saling tatap. Mereka tahu Yasmin masih menyimpan rasa yang sama. Semua terlihat jelas dalam sorot matanya. Bagaimana ia menatap Milan, bagaimana ia menahan kekecewaannya. Yasmin tidak bisa menyembunyikan semuanya dengan baik.

"Lo udah nggak ada perasaan lagi sama dia?"

"Nggak."

"Bohong," timpal Deev sambil menatap Yasmin tepat di manik matanya.

"Lo mungkin bisa bohong sama kita, tapi nggak sama diri lo sendiri. Gue percaya sama lo, cukup lakuin apa yang menurut lo bener," lanjut Deev.

"Memaafkan kesalahan orang lain emang sulit, Yas. Tapi jadi pendendam juga nggak baik."

Yasmin menunduk lesu sambil menghabiskan lemon tea miliknya. Ia masih belum bisa mencerna apa yang dikatakan Deev dan Aline beberapa detik yang lalu.

Selepas dari kantin, Deev mampir ke kamar mandi sebentar. Ia merapikan rambutnya yang berantakan, membasuh mukanya sebentar, lalu membuka knop pintu untuk kembali ke kelas. Langkahnya terhalang seseorang yang juga berniat pergi ke kamar mandi. Nami menatapnya singkat, tersenyum tipis, lalu berjalan melewatinya. Deev balas tersenyum lalu kembali ke kelasnya. Sepertinya akan seru untuk menggoda Raga hari ini.

Tepat di koridor sebelum ruang kelasnya, ia melihat Raga membawa tumpukan buku paket dengan kesusahan. Senyum Deev merekah, ia lalu melambai sambil meneriakkan nama laki-laki itu.

"Raga!"

Laki-laki itu menoleh sebentar. Kedua pandangan mereka beradu sebentar. Raga berlalu menuju ke kelasnya tanpa menghiraukan kehadiran Deev. Tak ada senyum yang terukir di bibirnya, tak ada sapaan hangat yang biasa ia lakukan. Deev menyimpan banyak tanda tanya di kepalanya. Apakah ia membuat kesalahan terhadap sahabatnya itu? Apakah ia menyakiti perasaan Raga? Tanda tanya itu terus berputar di kepala Deev, menyita waktunya yang membuatnya terdiam di koridor sambil menatap laki-laki itu masuk ke kelasnya. Dia bukan sosok Raga yang ia kenal. Bukan Raga yang hangat dan ramah, bukan Raga yang seperti rumah tempatnya menyenderkan segelintir masalah. Ia, ia berbeda. Perempuan itu sudah bertekad untuk menemuinya sepulang sekolah.

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang