Sejak empat bulan yang lalu Shakeel meminta hatinya di taman sekolah, hari-hari Deev berjalan dengan lebih luar biasa. Tak ada lagi topeng bahagia yang harus ia pasang karena semua tanya telah menemukan jawabannya. Hubungan dengan ayahnya pun semakin membaik meskipun Deev masih memutuskan untuk tinggal di panti asuhan.
Seringkali Raga juga ikut bergabung ketika Deev dan Shakeel pergi, terlebih saat ini Raga sudah menggandeng perempuan baru.
Laki-laki itu sukses melupakan Nami.
Deev tidak pernah merasa semua hal sebaik ini sebelumnya.
Hari ini ujian nasional SMA selesai. Rasanya seperti ada tawuran di kepala Deev, soal mata pelajaran Kimia pilihannya sangat sulit untuk dipecahkan. Gadis itu kemudian melangkah menuju taman sekolah, hendak menikmati senja seperti biasanya. Shakeel entah ada di mana saat ini, laki-laki itu belum membalas pesannya.
Deev meluruskan kakinya sambil bersandar pada pohon mangga yang ada di bagian tepi taman. Matanya lurus memandang ke depan sambil memutar ulang memorinya selama tiga tahun berada di sini. Awal mula menjadi seorang murid baru dengan rambut dikuncir pita warna kuning, dipilih menjadi ketua klub mading, hingga akhirnya baru mengetahui ada manusia seperti Shakeel tepat di tahun ketiga. Rasanya semua berjalan begitu cepat.
Deev terperanjat ketika ada benda dingin yang menempel di pipinya.
"Jangan ngelamun di sini ih."
"Kamu ngagetin tahu nggak!"
"Hehe..nih," celetuk Shakeel sambil menyerahkan sebotol yoghurt dingin ke tangan Deev.
Deev tersenyum. "Botol yoghurt yang dulu kamu kasih ke aku masih aku simpan loh."
"Iya udah tahu."
"Kok bisa tahu?"
"Aku kan peramal."
"Peramal gadungan kali ya," kata Deev sambil tertawa.
"Jadi kuliah di Jogja?"
"Iya jadi, aku mau tinggal sama Ayah di sana."
Beberapa waktu lalu, Deev memutuskan untuk tinggal di Jogja bersama ayahnya. Ia juga sudah memberi tahu Shakeel tentang rencananya itu.
"Kita bakalan jauh dong?"
"Kan sekarang udah canggih Keel, komunikasi pake apapun bisa."
"Tapi kan saya jadi bakalan jarang ketemu kamu."
"Dua bulan sekali aku ke Jakarta buat ketemu Bunda, tenang aja."
"Kalau saya kangen gimana?"
"Ya kangennya ditabung dulu buat dua bulan ke depannya."
Keduanya terkekeh. Shakeel senang perempuan itu bisa tertawa selepas ini. Shakeel senang tak ada lagi tembok yang harus ia bangun untuk menutup dirinya.
"Yuk ikut saya."
"Ke mana?"
"Kalau saya kasih tahu, nanti kamu nggak kaget lagi dong."
Deev menghembuskan napas kasar lalu mengikuti langkah Shakeel. Laki-laki itu selalu penuh kejutan, ia selalu melakukan hal-hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Shakeel masih laki-laki yang sama. Ia yang lebih memilih mengajaknya menikmati senja di telaga daripada berkeliaran di mal.
Ia yang lebih memilih mengajaknya menikmati secangkir kopi di warung beratap ilalang daripada menghabiskan waktu di coffee shop.
Dulu Deev pernah bilang, kalau semua manusia seperti Shakeel, ia akan memilih pindah ke planet lain. Tapi nyatanya tidak ada orang lain seperti Shakeel di bumi. Laki-laki itu satu-satunya, ia istimewa. Shakeel selalu istimewa bagi Deev.
Kedua orang itu terus berjalan. Deev tidak tahu kenapa Shakeel malah mengajaknya jalan kaki, padahal ia membawa motor ke sekolah. Tapi Deev senang. Apapun jika itu tentang Shakeel, Deev senang.
"Kita sebenarnya mau ke mana sih Keel?" tanya Deev masih dengan rasa penasarannya.
"Nanti juga kamu tahu."
"Terus kenapa jalan?"
"Biar kamu olahraga. Saya tahu kamu olahraga cuma di mata pelajarannya Pak Bekti, itu pun kalau kamu nggak bolos," ujar Shakeel sambil tertawa―Deev memberengut.
"Aku kan nggak suka olahraga."
"Terus sukanya apa? Saya?" Shakeel menolehkan kepalanya ke arah perempuan yang berjalan di sampingnya sambil tersenyum miring.
"Dasar kepedean!
Mereka berhenti di sebuah toko bunga kecil di sudut gang. Deev menoleh ke arah Shakeel, seolah bertanya untuk apa mereka berhenti di sini.
"Udah yuk ikut masuk aja, nanti juga tahu kok," kata Shakeel sambil menggamit tangan Deev masuk ke dalam toko bunga.
Mereka kemudian masuk ke dalam toko. Harum bunga langsung menyeruak memenuhi ruangan.
Bapak pemilik toko sedang menyemprot bunganya agar lebih segar.
"Selamat pagi, Pak," sapa Shakeel hangat seolah dia telah mengenal dekat si pemilik toko.
"Eh, Mas Shakeel. Mari mas ke sini," sahut bapak pemilik toko sambil mempersilahkan duduk di bangku kayu yang disediakan di sudut ruangan.
"Pesanan saya kemarin bagaimana Pak?"
"Ada Mas, sebentar saya ambilkan dulu."
Bapak itu kemudian masuk ke sebuah ruangan kecil di samping kiri meninggalkan Shakeel dan Deev di sana.
"Kamu kenal Keel?"
"Ini toko langganan Mama, dari dulu aku sering ke sini."
"Ibu kamu suka bunga?"
"Iya, Mama suka banget sama bunga anggrek."
Tak lama, bapak tadi datang dengan paper bag kecil di tangannya.
"Ini Mas, pesanannya. Uangnya yang kemarin masih sisa lho Mas."
"Untuk Pak Eki saja sisanya. Ya udah saya pamit ya, Pak. Terima kasih lho Pak sudah dicarikan."
"Sama-sama, Mas."
Mereka bergegas keluar ruangan dan kembali berjalan menuju parkiran motor di sekolah.
"Nih buat kamu," ujar Shakeel sambil menyerahkan paper bag kecil tadi ke tangan Deev.
"Ini apa?"
"Bibit daisy, besok kamu tanam ya di rumah kamu yang di Jogja, jangan lupa dirawat, Pak Eki susah-susah nyarinya."
Deev tersenyum hingga matanya menyipit. Benar kan, Shakeel selalu istimewa. Jika biasanya laki-laki di luar sana memberi bunga kepada kekasihnya, Shakeel lebih memilih memberi bibitnya agar Deev yang menanamnya sendiri. Laki-laki itu ikut tersenyum menatap Deev, ternyata semudah itu membuatnya bahagia.
"Keel?"
"Hm?"
"Mau tahu cerita soal matahari dan bumi?"
"Gimana ceritanya?"
"Once upon a time, the Earth and the Sun were arguing about distance. The Sun told the Earth that it's okay if they had a distance. But, the earth sighed and said, "But you are 149.6 million km away."
The Sun just smiled and said, "Distance never has and never will, stop me from making you feel warm."
So, you got my point Shakeel Keano Adhitama?"
Shakeel mengangguk, lalu tersenyum selebar mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncountable Memories
Novela JuvenilMenurut kamu, memori itu sebuah hal yang bisa terhitung atau tidak? Shakeel terbiasa hidup dengan memori yang penuh luka. Jika didefinisikan dengan warna, hidupnya yang semula indah seperti ketika warna pelangi disatukan, tiba-tiba menjadi hitam sec...