Dua gelas jus jeruk menemani obrolan Deev dan Raga sore ini. Hujan sepertinya juga sedang senang jatuh ke bumi. Bau petrikor yang menenangkan membuat senja terlihat semakin menyenangkan. Dua orang itu duduk di sofa yang berhadapan. Deev memeluk bantal kecilnya sambil menunggu Raga bercerita.
"So? Tell me the story," ujar Deev sambil membenarkan posisi duduknya.
"Jadi, gue sebenarnya udah lama sih deketin dia. Ya emang sih, nggak terang-terangan, lo aja yang setiap hari sama gue nggak tahu. Gimana ya, Deev, awalnya ya cuma chatting-an biasa, tukeran id line, follow instagram. As my grandma said, everything begin with a little thing. Yah, dan finally, gue nggak mau dikira nge php-in anak orang, ya udah, gue jujur aja sama dia." Raga menepati hutang ceritanya kepada Deev sambil menunduk malu.
"Ya ampun, Ga, lo blushing?" Deev berteriak sambil tertawa lepas. Dengan spontan, Raga menutupi wajahnya dengan bantal sofa sambil memaki Deev.
"Deev!" teriak Raga sambil melemparkan bantal yang ada di tangannya ke tempat Deev duduk. Perempuan itu malah terbahak dan balik melempar bantalnya.
***
Kantin sudah mulai penuh, padahal bel istirahat baru berbunyi lima menit yang lalu. Seperti hari-hari sebelumnya, Deev, Aline, dan Yasmin bergabung dalam meja yang sama.
"Kalian mau makan apa hari ini? Biar gue pesenin sekalian," ujar Aline sambil menatap kedua sahabatnya.
"Gue batagor aja deh, sama es jeruk" jawab Yasmin.
"Gue sama, makasih ya" lanjut Deev.
Punya sahabat yang pengertian seperti Aline selalu menyenangkan bagi Deev dan Yasmin. Aline ibarat seorang ibu yang selalu menyiapkan segala keperluan mereka dengan sangat baik. Bukan memanfaatkan, ini adalah ketulusan.
Ketika Deev mengamati suasana kantin, ekor mata Deev tak sengaja menangkap sosok Shakeel dan teman-temannya yang baru saja masuk. Kelima orang itu duduk di bangku paling pojok, paling dekat dengan pintu. Deev segera mengalihkan pandangannya ketika ia melihat Milan mendekat ke meja mereka. Ini pasti tentang Yasmin. Semenjak putus dengan Milan beberapa minggu yang lalu, Yasmin menjadi sedikit pendiam. Kadang Deev melihatnya terlibat perdebatan kecil bersama Milan yang berujung salah satu dari mereka pergi terlebih dahulu. Deev kira masalah mereka telah selesai, tapi sepertinya belum.
"Yas, gue mau ngomong." Milan sudah berdiri di hadapan Deev dan Yasmin dengan kedua tangan di saku celana abu-abunya.
"Ngomong aja," jawab Yasmin dengan ekpresi tak peduli.
"Nggak di sini."
"Bentar ya Deev."
Yasmin mengikuti langkah Milan yang menjauh dari keramaian kantin. Mereka berhenti di dekat gerbang belakang sekolah. Setidaknya jika mereka terlibat perdebatan lagi, tak akan ada yang mendengar di sini. Yasmin menyilangkan tangannya sambil menatap Milan tak peduli. Mengingat apa yang telah terjadi membuat hatinya terluka.
"Yas, gue mohon sekali ini aja kasih gue kesempatan untuk ngejelasin semuanya." Milan memohon sambil menatap manik mata gadis itu penuh penyesalan.
"Bukannya semua udah jelas?"
"Yas, please give me a chance to tell the truth."
"Jadi lo anggap itu kebohongan? Lo ketawa-ketiwi sama cewek lain, gandeng tangan dia, you did everything that we've done with her. Coba kasih tahu gue, bagian mana yang lo sebut kebohongan?" Yasmin mencoba untuk menahan air matanya agar tak jatuh. Namun, sekeras apa pun ia menahannya, air mata itu tetap menitik. Milan tak mampu mengucap sepatah kata pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncountable Memories
Ficção AdolescenteMenurut kamu, memori itu sebuah hal yang bisa terhitung atau tidak? Shakeel terbiasa hidup dengan memori yang penuh luka. Jika didefinisikan dengan warna, hidupnya yang semula indah seperti ketika warna pelangi disatukan, tiba-tiba menjadi hitam sec...