Malam di Sekolah

343 22 12
                                    

Shakeel cukup sibuk hari ini. Meskipun ia hanya ditugasi sebagai script writer, ia tetap harus membantu panitia lain untuk menyiapkan malam pelatihan pentas drama. Semua panitia dan pemeran akan menginap di sekolah hari ini untuk melakukan gladi bersih dan persiapan panggung. Sejak tadi, Shakeel sibuk mondar-mandir bersama Sam untuk mengecek pendirian panggung dan persiapan properti.

"Keel, bisa nggak sih gue nggak ikut nginap?" tawar Sam sambil membuang bungkus teh kotak miliknya.

"Ya nggak bisa lah, lo kan udah ditugasin jadi sie perlengkapan."

"Siapa sih yang masukin gue jadi panitia drama sialan ini, heran gue," omel Sam membuat Shakeel geleng-geleng kepala.

"Salah siapa berantem di sekolah? Lo kan masuk panitia karena dihukum." Shakeel terkekeh membuat Sam mengerucutkan bibirnya.

Pandangan Shakeel terkunci saat Deev memasuki lapangan. Perempuan itu membawa tumpukan karton properti dan menyusunnya di panggung. Shakeel tersenyum sendiri melihatnya.

"Ya gini nih, kalau udah senyum-senyum sendiri, harus dibawa ke dokter," goda Sam sambil meninju lengan Shakeel pelan.

"Apaan sih Sam?"

"Dokter cinta maksud gue." Sam tertawa disusul dengusan pelan dari Shakeel.

Shakeel berjalan menuju panggung, lalu menghampiri perempuan itu. Entahlah, akhir-akhir ini nyalinya meningkat. Ia bukan lagi Shakeel si batu es seperti waktu awal dulu. Ia bukan lagi Shakeel yang membalas ucapan Deev dengan kalimat dingin. Bagaimana bisa secepat ini Deev memporak-porandakan dunia Shakeel?

"Hai," sapa Shakeel sambil membantu menata karton.

"Eh, hai."

"Nanti malam ikut nginep kan?"

"Iya lah, bukannya wajib?"

"Hehe, iya juga," jawab Shakeel salah tingkah.

"Properti udah siap semua kan?"

"Sudah komandan!" balas Deev―Shakeel tertawa geli.

"Akhir-akhir ini kamu sering banget ketawa, adem lihatnya." Deev tersenyum tipis.

"Bagus dong?"

"Iya. Ya aku inget aja dulu waktu di Jogja. Waktu awal-awal kita kenal, kamu kaya es di kutub selatan tahu nggak."

"Dan kamu sekarang berhasil lelehin saya kan?"

"Apaan sih Keel."

Deev memalingkan wajah lalu buru-buru pergi meninggalkan panggung dengan wajah yang tersipu. Kedua sudut bibir Shakeel terangkat membentuk senyum tipis yang entah kenapa akhir-akhir ini sering muncul di wajahnya.

***

Langit sudah mulai menggelap. Matahari sudah turun dari singgasananya. Semua panitia sedang beristirahat di ruang properti, begitu pula dengan Deev. Ia baru saja menghabiskan satu kotak nasi uduk sebagai konsum panitia. Kenangan Deev tentang Jogja memburai. Saat di mana Shakeel menyerahkan nasi uduk untuknya ketika Deev tidak mau turun dari bus. Semua kenangan itu terputar satu demi satu. Gulali lilit, wedang ronde, mabuk perjalanan Deev, semuanya kembali hadir. Deev tersenyum kecil mengingatnya, seakan tak ingin kenangan itu hilang begitu saja.

"Ih Deev! Malam-malam jangan ngelamun," tegur Aline sambil menggoyangkan lengan Deev.

"Iya nih, sambil senyum-senyum gitu lagi. Pasti mikirin Shakeel nih," goda Yasmin sambil menoel bahu Deev.

"Ih, enggak lah." Deev menundukkan kepalanya, pipinya memerah karena ketahuan melamunkan Shakeel.

"Kalo mikirin saya juga nggak apa-apa," ujar seseorang dengan suara berat, ketiga perempuan itu menoleh kepada si pemilik suara yang sudah berdiri di hadapan mereka.

"Ka..kamu ngapain?" Deev sedikit terkejut dengan kehadiran Shakeel yang tiba-tiba.

"Saya pinjam Deev-nya sebentar ya. Yuk."

"Ke mana?"

"Udah ikut aja sih," Aline menimpali.

"Lama juga nggak apa-apa, Keel," lanjut Yasmin sambil terkikik. Shakeel hanya tersenyum lalu berjalan lebih dulu menuju pintu diikuti Deev. Perempuan itu memelototkan matanya kepada dua sahabatnya.

Deev akhirnya bangkit dan mengikuti langkah laki-laki itu. Punggung tegapnya meneduhkan. Tapi Deev tahu, Shakeel tidak sekuat itu. Laki-laki itu sebenarnya rapuh. Ia masih ingat ketika seseorang yang berjalan di depannya ini menangis,di bawah hujan. Memberi bukti bahwa Shakeel memang tidak setegar di hadapannya. Sepertinya benar, terkadang manusia memang perlu topeng, untuk menutup luka dan membuat semuanya seolah baik-baik saja. Itu wajar kan? Tidak ada yang melarang kita untuk menjadi rapuh, karena menjadi rapuh membuktikan bahwa kita adalah manusia seutuhnya yang mempunyai perasaan.

Mereka berhenti di lapangan basket. Di sana ramai. Pemeran drama sedang melakukan gladi bersih dan ada beberapa panitia yang sibuk mengangkat ini-itu. Shakeel duduk di tepi lapangan, diikuti Deev di sampingnya. Keduanya menekuk lutut dan memeluk kaki masing-masing.

"Kamu ngapain ngajak aku ke sini?"

Shakeel menoleh lalu hanya menggelengkan kepala pelan sambil tersenyum.

"Ih...ditanyain juga kok malah senyum sih?" gerutu Deev lalu mencebikkan bibirnya yang membuat Shakeel gemas.

"Enggak apa-apa. Kamu capek nggak seharian ngangkat ini-itu?" balas Shakeel sambil terkekeh.

"Ya, capek sih. Tapi buat kelancaran acara besok, capeknya harus ditahan dulu."

"Kalau capek ya istirahat, nggak usah dipaksain, kan tim properti banyak, suruh si Sam aja tuh, biar anaknya kepake di sini."

Keduanya tertawa, kemudian hening kembali.

Shakeel berdeham, "Deev, kok langitnya malam ini gelap banget ya?"

"Kan mendung, Keel."

"Bukan mendung."

"Lalu?"

"Gimana nggak gelap, orang bulannya sekarang ada di sebelah saya."

Shakeel terkekeh membuat Deev meninju lengannya untuk ke sekian kali. Ini kamu diajarin Dirman gombalin cewek apa gimana sih, Keel? Bikin jantung aku mau copot aja.

"Nggak lucu tahu, Keel," ujar Deev menyembunyikan rona merah di pipinya.

"Ya gimana mau lucu, saya kan emang nggak lagi ngelawak."

"Udah ah, bahas yang lain. Jadinya kalian sama Dirman udah pada baikan belum?"

"Udah sih, malemnya kami langsung kelarin semuanya. Dirman juga mau ceritain detailnya. Besok habis pentas rencananya kita mau ke rumahnya Dirman di kampung."

"Serius? Naik apa?"

"Kereta. Mau ikut?"

"Ya enggak lah, masa aku cewek sendiri. Salamin aja dan bilang semoga lekas sembuh."

"Bilangnya dari siapa?"

"Dari Deev lah."

"Emang ibunya Dirman tahu Deev siapa?"

"Ya terus biar tahu gimana?"

"Nanti saya bilangnya dapat salam dari pacar saya, pasti ibunya Dirman langsung tahu," goda Shakeel sambil terkekeh.

"Shakeel apaan sih? Malu tahuuuu."

Shakeel hanya tertawa lebar, sedangkan Deev menundukan wajahnya. Sisa malam itu dihabiskan untuk membereskan properti dan check sound musik. Deev tersenyum. Hehe, pacar ya, Keel?

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang