Sejarah

288 25 42
                                    

Hujan pertama bulan Juli. Si gadis periang dengan payung biru pastel miliknya masih duduk di halte sambil membaca novel fiksi favoritnya. Tak lama, bus yang ditunggu datang. Dengan bergegas Deev memilih tempat duduk yang paling dekat dengan pintu.

Deev memasang earphones silvernya sambil memandang jalanan Jakarta dari sisi jendela bus. Ia benar-benar menikmati lagu yang terus terputar sampai akhirnya bus berhenti dengan tiba-tiba. Ada kecelakaan mobil di depan dan ruas jalan terganggu. Semua penumpang kebingungan dan riuh. Kecelakaan itu menyebabkan bus tidak bisa lewat untuk sementara waktu. Kalau begini caranya, Deev bisa telat ke sekolah. Ia memutuskan untuk turun setelah membayar ongkos kepada kernet yang berjaga. Mau tidak mau ia harus mencari kendaraan lain agar bisa sampai ke sekolah dengan tepat waktu.

Deev mulai kebingungan karena tidak ada kendaraan umum yang lewat. Senyum terukir di bibirnya ketika bajaj yang biasa lewat daerah ini datang.

"Bang, bajaj!" teriak Deev sambil melambaikan tangan kanannya.

"Naik, Neng."

"SMA Sanjaya, Bang."

Jalanan ibu kota sudah mulai padat. Peluang untuk tidak telat mungkin hanya tersisa 30%. Tapi selalu ada harapan dibalik peluang kan?

"Bang, bisa lebih cepat enggak?" ujar Deev dengan rasa panik yang mulai menguasai dirinya.

"Sabar Neng, ini udah ngebut saya."

"Duh, Bang. Saya bisa telat deh."

"Ya ampun, Neng, telat aja takut, paling juga cuma dihukum sebentar." Abang bajaj menimpali sambil terkekeh.

"Bukan masalah hukumannya, Bang. Ini soal taat peraturan. Peraturan ada bukan untuk dilanggar, tapi ditepati. Bunda saya bilang gitu," jawab Deev membela diri.

"Iya, deh."

Di balik 30% peluang tadi, Deev tidak mendapatkan sedikit pun. Gerbang sekolah sudah tertutup dan Pak Bayat, guru paling menakutkan di SMA Sanjaya sedang berjaga untuk menjaring siswa-siswa yang terlambat. Karena kumisnya yang tebal, ia mendapat julukan Pak Kumis dari para siswa.

Mati gue, Pak Kumis udah di situ aja lagi.

"Hei kamu! Jangan kabur! Sini kamu!" teriak Pak Bayat sambil menunjuk Deev.

"Se..selamat pagi, Pak." Deev tersenyum kecil sambil menggigit bibir bawahnya.

"Kenapa kamu terlambat?" tanyanya dengan ekspresi garang.

"Tadi ada kecelakaan di Jalan Bambu, Pak. Bus tidak bisa lewat," jawab Deev jujur.

"Alasan saja kamu! Kalau kamu berangkat lebih pagi, kamu tidak akan terlambat."

Ini guru kok sukanya nyari kesalahan siswa. Mampus gue.

"Ikut saya! Kamu harus dihukum!" titahnya garang.

Deev mengikuti langkah Pak Bayat hingga akhirnya berhenti di depan pintu kayu besar dengan ukiran flora di tepinya. Ia mengikuti Pak Bayat untuk masuk ke dalam. Pak Bayat terlibat sedang percakapan kecil dengan wanita muda dengan tubuh gempal.

"Kamu saya hukum untuk membersihkan perpustakaan ini sampai bel istirahat berbunyi. Jangan kabur dan laksanakan apa yang Bu Wati perintahkan."

"Baik, Pak. Terima kasih."

Deev menghembuskan nafas kasar sambil menaruh tasnya di kursi rotan dekat pintu. Ia menghampiri Bu Wati, penjaga perpustakaan yang sedang merekab data siswa peminjam buku minggu ini.

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang