Gusar

164 18 0
                                    

Deev terkesiap ketika motor vespa biru itu ada di depan gerbang rumahnya. Shakeel duduk di sana sambil memainkan ponsel di tangannya. Ia segera menghampiri laki-laki itu.

"Kamu ngapain di sini?" Shakeel mengalihkan pandangannya.

"Mau ngajakin berangkat bareng, boleh? Tapi kalau nggak boleh nggak apa, saya berangkat sendirian." Ia tersenyum kecil sambil menyerahkan helm yang pernah dipakai perempuan itu beberapa kali.

Deev menerima uluran helm itu. "Kalau begini namanya maksa, bukan nawarin." Shakeel hanya terkekeh lalu menghidupkan mesin motornya.

Raga berhenti beberapa meter dari rumah Deev. Mengamati motor vespa yang mulai menghilang dari jarak pandangnya. Dia berhak bahagia, Ga. Ia menghidupkan mesin motornya, lalu menyusul dua orang yang sudah berlalu itu.

***

Deev terlihat lebih ceria hari ini. Entah kenapa, semuanya terasa ringan hari ini. Tumpukan list properti yang belum terselesaikan nampaknya juga tidak membebaninya. Ia masih berkutat dengan tumpukan karton dan krayon. Aline dan Yasmin belum juga datang, padahal bel pulang sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu.

Pintu diketuk, Deev berharap yang datang adalah Aline dan Yasmin dengan seplastik makanan ringan atau sekotak teh dingin. Tapi yang muncul adalah Raga dengan seragam yang dikeluarkan, ada beberapa noda di atasnya. Ia berjalan mendekat lalu duduk di hadapan Deev. Deev bisa melihat pipi laki-laki itu lebam. Sudut bibir dan dahinya berdarah. Deev langsung panik sendiri, ini ke sekian kalinya Raga datang padanya dengan kondisi seperti ini setelah hari itu.

"Ini kenapa, Ga?" tanyanya panik.

"Nggak usah panik, biasa, urusan cowok."

"Tunggu di sini, gue beli plester di koperasi dulu. Jangan ke mana-mana." Perempuan itu bergegas bangkit setengah berlari, lalu memakai sepatunya.

Raga tersenyum masam. Ini yang gue takutin, kalau lo udah punya dunia baru nanti, nggak akan ada cewek yang segitu paniknya cuma karena ngeliat gue babak belur. Raga mengusap ujung bibirnya yang terasa perih dengan ibu jarinya. Selang tiga menit, Deev sudah datang dengan beberapa plester di tangannya.

"Lo berantem lagi, ya?" teror Deev sambil memasang plester itu di dahi Raga. Laki-laki itu tersenyum masam.

"Kenapa sih, kalian para cowok, harus selesain masalah dengan berantem? Mau ngebuktiin siapa yang lebih kuat?"

"Sakit tau, jangan ngomel aja," erang Raga sambil menghilangkan darah yang ada di bibirnya.

"Siapa suruh berantem coba? Udah sekarang pulang aja, gue masih harus ngurus banyak properti."

"Gue tungguin."

"Nggak usah, pulang deh buru."

"Gue tungguin."

"Terserah deh, tapi jangan ngomel ya kalau lama," jawab Deev galak lalu kembali berkutat pada pekerjaannya.

Shakeel dan Sam berdiri di ujung pintu. Mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam saat melihat Deev sedang berdebat dengan Raga.

"Yakin nggak cemburu?" goda Sam dengan senyum miringnya.

"Bener kata lo, yang istimewa kadang kalah sama yang selalu ada."

"Minder nih ceritanya?" Shakeel hanya diam. Lalu meninggalkan ruangan itu secepatnya.

Shakeel mencoba menepis perasaan tak masuk akal yang selalu muncul setiap ia melihat Deev di dekat Raga. Rasanya aneh, kesal sekaligus tak tenang. Deev, I'm afraid he's going to make you happier than I do. Dan sialnya, mungkin itu benar. Shakeel menghela nafas kasar, lalu kembali fokus kepada naskah drama di hadapannya.

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang