"Kenapa Bunda nggak bilang sama Deev? Kenapa Bun?" teriak Deev dengan suara parau. Air matanya tak henti jatuh.
"Maafkan Bunda, Nak. Ayah kamu yang meminta Bunda merahasiakan ini."
Bunda juga menangis sambil memeluk dan menenangkan perempuan yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.
"Tapi kenapa laki-laki itu tidak pernah muncul di depan Deev kalau memang dia ayah Deev Bun? Apa Deev sebegitu tidak diharapkannya buat dia?"
"Kamu nggak boleh bicara begitu."
"Tapi itu kenyataannya kan Bun? Bahkan dia bilang dia pembunuh istrinya sendiri. Apa berarti dia yang bunuh Ibu Deev? Iya Bun? Kenapa Bunda bohongin Deev dengan bilang kalau Ibu meninggal waktu ngelahirin Deev? Kenapa Bun? Jawab Deev!"
"Deev tenang," Bunda mengelus pundak Deev sambil mempererat pelukannya.
"Kenapa laki-laki itu jahat Bun? Kenapa?"
"Deev, kamu nggak boleh berpikiran seperti itu. Kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sekarang kamu istirahat, besok kita temui ayah kamu. Ya?"
Deev hanya mengangguk lalu bergegas mandi dan membersihkan diri. Kepalanya penuh dengan banyak tanda tanya. Seolah setiap sudut otaknya diisi bagian-bagian yang seharusnya tidak harus dipikirkan. Semuanya menjadi semakin rumit.
Semesta, kenapa kau suka sekali mengujiku akhir-akhir ini?
Ibu, Deev capek. Deev pengen peluk Ibu, kenapa semua jadi kaya gini, Bu?
***
Ruangan kecil itu mendadak terasa luas. Yang terdengar hanya suara jam dinding yang berdetak. Seorang laki-laki berjas hitam tengah menatap anak perempuannya yang sedari tadi hanya menunduk ke bawah, menjauhkan pandangan darinya. Gadis kecilnya ternyata sudah tumbuh menjadi seorang perempuan cantik.
"Ini Ayah, Nak," kata Aryo lirih. Deev masih diam di tempatnya.
"Maafkan Ayah karena baru muncul detik ini. Ayah punya alasan."
"Alasan apa? Karena Anda pembunuh Ibu saya?"
"Kamu boleh marah sama Ayah, tapi Ayah mohon dengarkan penjelasan Ayah."
Aryo menarik nafas lama, lalu menghembuskannya perlahan.
"Dulu, Ayah hampir bangkrut. Perusahaan Ayah kacau karena kecurangan saingan Ayah. Semua berantakan. Ayah kalut. Setiap kali Ayah pulang, pasti Ayah dalam keadaan mabuk. Bau minuman keras menguar, Ayah benar-benar menjadi manusia yang tidak berguna. Ibumu bahkan tidak mampu meluluhkan hati ayah."
"Sampai suatu hari, Ayah melakukan hal paling bodoh yang hingga detik ini masih Ayah sesali. Ayah berniat bunuh diri dengan pisau yang ada di dapur. Waktu itu, Ayah merasa bahwa hanya itulah satu-satunya pilihan yang tersisa. Bahkan Ayah tidak lagi memikirkan nasib ibumu dan kamu yang masih ada di kandungan waktu itu."
Air mata Deev tak bisa dibendung lagi. Ia meringkuk dengan pikiran yang berkecamuk.
"Di detik ketika Ayah hampir menggores nadi Ayah, ibu kamu datang. Dia berusaha merebut pisau yang ada di tangan Ayah. Ibumu meraung, menangis, tapi saat itu pikiran Ayah benar-benar terbutakan. Sakit mental Ayah menguasai semuanya. Ibumu terus berusaha menyelamatkan Ayah hingga akhirnya dia terjatuh. Darah bersimbah di mana-mana. Ibumu terus meronta sambil memegangi perutnya. Ayah kalut, pisau yang ada di tangan Ayah langsung Ayah lempar dan segera membopong ibumu ke mobil."
"Sampai di rumah sakit, dokter langsung membawa ibumu ke ruang bersalin karena keadaan kandungannya sudah kritis. Yang bisa Ayah lakukan hanya menangis di koridor rumah sakit menyesali semua perbuatan Ayah. Ayah waktu itu hancur, Ayah depresi karena perbuatan Ayah sendiri, Ayah...Ayah hampir gila, Nak. Ibumu jatuh karena ingin menyelamatkan nyawa Ayah, dan Ayah membahayakan nyawa kalian karena kebodohan Ayah sendiri."
Aryo menangis, menceritakan ini kepada Deev sama saja dengan menggali kembali hal-hal buruk yang ia timbun dengan penuh luka.
"Bundamu dan suaminya lalu datang dan berusaha menenangkan Ayah. Mereka sedikit-sedikit membantu ayah menghilangkan depresi itu. Ayah juga rutin konsul ke psikiater. Ayah minta bundamu membawa kamu ke rumahnya. Ayah mau kamu dirawat oleh orang yang tepat. Ayah...Ayah merasa nggak pantas untuk jadi orang tua kamu. Ayah merasa bersalah, Ayah takut kamu nggak akan menerima keadaan Ayah. Itu alasan kenapa Ayah nggak pernah muncul di hadapanmu."
"Ayah cuma pengen kamu bahagia. Ayah nggak pantas jadi Ayah kamu, Ayah laki-laki nggak baik, Ayah―"
Deev menghambur ke pelukan ayahnya sebelum kalimat itu terselesaikan. Air matanya sudah tak terbendung. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan saat ini. Semuanya tercampur aduk begitu saja.
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah minta maaf."
"Kenapa Ayah menghadapi itu semua sendirian? Ayah masih punya Deev, tetapi kenapa Ayah malah memilih menjadi tokoh belakang layar di kehidupan Deev? Kalau aja Ayah menjelaskan ini semua dari awal."
"Maafkan Ayah."
"Ayah harus janji. Ayah nggak boleh ninggalin Deev menghadapi semesta sendirian lagi. Ya?"
"Ayah masih punya Deev. Deev juga pengen dilindungi sama seorang ayah kaya teman-teman Deev. Deev juga pengen bisa peluk seorang ayah ketika Deev sedih. Deev pengen bisa berbakti sama Ayah. Deev juga pengen jadi anak perempuan yang buat ayahnya bangga."
Laki-laki itu tersenyum dan mempererat pelukannya. Ia mengecup puncak kepala putrinya berkali-kali. Rindu yang tersimpan selama bertahun-tahun itu akhirnya bertemu dengan tuannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Uncountable Memories
Fiksi RemajaMenurut kamu, memori itu sebuah hal yang bisa terhitung atau tidak? Shakeel terbiasa hidup dengan memori yang penuh luka. Jika didefinisikan dengan warna, hidupnya yang semula indah seperti ketika warna pelangi disatukan, tiba-tiba menjadi hitam sec...