Dirman Ngambek

190 14 0
                                    

Aku tidak pandai berbicara, itu kenapa aku merangkai kata. Aksara menjadi suara dalam senyapku yang tak berkesudahan. Diamku menjadi bahasa yang tak seorang pun mengerti. Kudirikan tembok kokoh yang tak seorang pun mampu memecahnya.

Namun, kamu.

Kamu mengerti apa yang tak bisa kuungkapkan lewat suara. Kamu menjadi melodi baru dalam nyanyian yang awalnya sendu. Kamu menjadi secercah cahaya yang menyelinap dengan anggun di sebuah ruang gelap bernama hatiku. Tembok kokoh yang kubangun hancur tanpa peringatan hanya dengan menatap mata itu. Kamu menjadi sepi yang kucari di setiap keramaian. Kamu menjadi tempat rinduku bermuara setiap kali hujan turun. Kamu menjadi tokoh utama dalam setiap tulisan-tulisanku.

Namun,

Ada satu waktu di mana aku benar-benar menjadi takut.

Aku takut ada laki-laki yang membuatmu lebih bahagia, dan ia bukan aku. Aku takut bukan wajahku yang selalu muncul sebelum tidur lelapmu. Aku takut, jika saja aku hanyalah angin lalu bagimu. Yang berhembus pelan, kau peluk erat, lalu lepas begitu saja. Egoiskah aku mencemburu pada mereka yang menyayangimu lebih dari aku?

Shakeel menutup buku agendanya ketika Dirman, Ghani, Milan, dan Sam tiba-tiba duduk di dekatnya. Milan sudah masuk sekolah semenjak keluar dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Dirman datang dengan satu plastik es teh sambil bernyanyi. Ghani seperti biasanya―sedang kumat―berjoget bak mas-mas alay yang menonton konser biduan dangdut. Warung Mbok Yum tiba-tiba menjadi ramai.

Iki ati du parkiran maju mundur ra karuan

Iki ati du layangan tarik ulur sembarangan

Nanging tresna iki udu es teh plastikan

Sing mbok cantelke, lalu engkau tinggalkan

"Oa..oe!" teriak Ghani yang mengundang tatapan dari siswa-siswi yang lewat.

Ada yang gigit-gigit jari karena ada Sam di sana. Ada yang baper karena dikedipin manusia tebar pesona, Milan. Ada yang nggak nyangka, Ghani, si juara umum sekolah, berubah jadi makhluk hiperaktif. Mungkin juga ada yang mau muntah melihat muka Dirman. Shakeel jadi pengen ngasih kantung plastik ke mereka. Itung-itung sedekah dan menerapkan pelajaran tolong-menolong dari Pak Ahmad, guru agama mereka.

"Man, gue nggak nanggung ya kalau cewek-cewek jadi ill-feel sama lo," gurau Sam sambil menyesap rokoknya.

"Santai, kalau nggak ada cewek yang mau sama gue, Ghani mau kok sama gue."

"Woi! Gue kan penolak LGBT garda terdepan!" Ghani langsung berdiri yang dibalas kekehan oleh teman-temannya.

"Katanya lo homoan sejati gue, dih janjimu palsu, Mas. Adek sakit hati."

"Udah-udah, jadi homo kok bangga Mas, masih banyak cewek cantik di luar sana," ujar Mbok Yum menengahi sambil membuatkan nasi uduk pesanan Sam.

"Cewek cantik sih banyak, tapi mereka alergi sama Dirman, Mbok." Milan tertawa hingga kedua matanya menyipit, Mbok Yum ikut terkekeh sambil menggelengkan kepala.

"Emang saya sejelek itu ya, Mbok?" Dirman tiba-tiba menceletuk.

"Eh?"

"Gue tahu gue item, gendut, kampungan. Tapi gue juga berhak diperlakukan seperti manusia."

"Eh kita cuma bercanda, Man. Kok lo jadi baperan gini sih?"

Dirman pergi begitu saja sambil mengalungkan tas di salah satu bahunya.

"Eh, Man! Loh kok pergi sih?"

Semua mata di sana menatap kejadian itu dengan bingung sekaligus kaget. Tidak biasanya Dirman seperti ini. Dirman bukan anak lima tahun yang akan marah jika diajak bercanda dengan hal-hal seperti itu. Biasanya Dirman akan ikut tertawa, bukan pergi begitu saja seperti saat ini.

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang