Buku Untuk Deev

181 24 2
                                    

Jam hampir menunjukkan pukul dua siang. Deev sedang menunggu angkutan umum untuk pergi ke tempat tujuannya. Dungarees berbahan jeans dengan sweatshirt warna putih menempel pas di tubuhnya. Rambutnya ia biarkan tergerai dengan bandana warna hitam. Otak Deev tak berhenti menerka-nerka hal apa yang akan terjadi hari ini. Kadang ia senyum-senyum sendiri tak peduli dengan panas yang menyengat siang ini. Seolah semesta memang harus tahu betapa bahagianya ia hari ini. Sepatu putihnya terus menggesek tepian aspal hingga angkutan umum yang ditunggu datang.

***

Aroma apel manis menyeruak ketika Deev masuk ke dalam toko. Bunga lili yang beberapa hari yang lalu ada di vas kaca kini berganti menjadi aster. Pandangan Deev menyapu isi ruangan, mencoba menemukan laki-laki yang ia temui. Apa Shakeel belum datang? Ponselnya berdering, tangan kanannya menggeser layar dengan gesit.

Meja baca, dekat jendela.

Satu pesan masuk dari orang yang ia tunggu. Tanpa membalas pesan itu, ia bergegas menuju ruang baca, sisi kiri dari Naturia Bookstore. Sesekali ia tersenyum ketika berpapasan dengan pegawai toko yang mungkin sudah hafal betul dengan Deev. Sesampainya di ruang baca, Deev malah kebingungan karena tidak ada siapa pun di sana. Benar-benar kosong. Tak peduli, ia mendekatkan langkahnya menuju meja baca di dekat jendela berbentuk lingkaran besar, seperti yang Shakeel tulis di pesannya.

Pandangannya terkunci pada buku yang berada di atas meja itu. Buku tipis bersampul hitam dengan gambar daisy berwarna putih yang sangat kontras. Tak ada judul apa pun di sana, hanya ada nama penulis di sudut kiri bawah. Deev duduk, lalu meraih buku dengan notes kecil di sampulnya.

Buku ini untuk Adeeva Kaaria.

Kedua sudut bibir Deev terangkat setelah membaca tulisan itu. Ia lalu meraih ponsel dari dalam tas selempang hitam dan mengetikkan sesuatu.

Jadi ini, maksud dari meja baca, dekat jendela, Keel?

Pandangannya ia palingkan menuju jendela lingkaran besar favoritnya, menatap bayangan dirinya yang tersenyum dengan pipi merona. Ah, kenapa aku terlihat seperti orang gila, begini? Ia kembali meraih buku itu, mengusap sampulnya lambat. Ketika hendak membukanya, origami berbentuk burung jatuh dari dalam buku. Dengan gesit, tangannya meraih origami berbahan kertas tulis yang masih baru. Bentuknya menjadi pipih karena ditekan oleh isi buku. Deev meregangkan beberapa bagian hingga benda itu kembali menjadi origami yang indah. Buka aku. Kata itu tertulis di sayap kanan burung dengan gaya tulisan serupa dengan notes di sampulnya. Gadis itu kembali tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Origami yang tadi ia rapikan, kini ia bongkar kembali. Menampakkan tulisan yang sama di atas kertasnya.

Deev, kalau kamu membaca tulisan ini, itu artinya buku ini sampai di tanganmu dengan selamat, hehe. Bisa saja kan, sebelum kamu datang, ada orang iseng yang mengambil buku ini, lalu membawanya pulang.

Ini bukan buku baru, ini salah satu koleksi kesukaan saya. Saya kasih ini ke kamu, karena saya rasa, buku ini adalah deskripsi tentang kamu, entahlah. Mungkin kamu juga akan merasa demikian kalau kamu selesai membacanya.

Oh iya, sebenarnya saya cuma mau bilang, saya sudah bertemu dengan penyembuh yang saya cari, ternyata kamu benar Deev, setiap luka akan menemukan penyembuhnya, terima kasih ya.

***

Tenang, bukunya sampai ke tanganku dengan selamat. Terima kasih.

Shakeel tersenyum ketika pesan itu masuk. Saat ini ia sedang berada di warung Mbok Yum dengan keempat sahabatnya, bukan di toko buku seperti yang kalian pikirkan saat ia mengajak Deev bertemu.

Syukurlah, orang asing sepertinya juga tidak akan berani mengambil buku milikmu itu, Deev.

Ia kembali tersenyum setelah mengetikkan balasan itu. Sam, Milan, Dirman, dan Ghani bahkan sampai bingung karena dari tadi sahabatnya ini senyum-senyum sendiri.

"Woi, gila ya lo?" celetuk Sam sambil melempar kacang polong ke arah Shakeel. Shakeel mengalihkan pandangannya dari ponsel dan menatap Sam datar.

"Hayoo, pasti lagi pedekate sama cewek nih?" Dirman menimpali dengan raut mengejeknya.

"Apaan sih? Nggak jelas banget." Shakeel berusaha memasang ekspresi sedatar mungkin agar tidak ada yang curiga. Sialnya, ponsel itu sudah berpindah tangan.

"Dapat, guys!" celetuk Ghani sambil terkekeh.

"Balikin nggak?" Shakeel menatap Ghani dengan tatapan tajamnya, tapi sepertinya hal itu tidak membantu.

"Kalian mau tahu nggak dia chat sama siapa?" ujar Ghani bertanya kepada yang lain, tapi matanya menatap Shakeel dengan tatapan mengejek.

"Ghan, gue nggak akan kasih pinjam video games gue lagi kalo lo sampai macam-macam," ancam Shakeel, tetapi malah terlihat lucu.

"Tenang, Ghan. Besok gue pinjemin," sahut Sam disertai tawanya.

"Siapa, siapa?" Milan melangkah mendekat ke tempat Ghani berdiri, mencoba mencari tahu sendiri.

"Sejak kapan sih sahabat gue jadi ngeselin semua gini?" Shakeel pasrah dan kembali duduk di tempatnya, lalu menyerobot es teh manis milik Sam masih dengan muka datarnya.

"Deev. She's the girl. I have known it, man!" seloroh Milan setelah membaca nama yang muncul di kolom pesan paling atas.

"Wih, udah berani buka hati nih?" lanjut Sam sambil meninju pelan lengan Shakeel.

"Cie..cie..ternyata temen sekelas gue berhasil leburin batu es kita ini." Dirman mengembalikan kembali ponsel itu ke tangan pemiliknya.

"Apaan sih kalian?"

"Kita seneng, kita seneng lo udah mulai lepas dari bayangan masa lalu lo." Sam menepuk bahu Shakeel pelan, lalu mereka kembali tertawa.

"Maaf ya." Tawa mereka meredup, seketika ruangan kecil itu terasa hening setelah Shakeel mengucapkan itu.

"Maaf kalau mungkin kalian pernah ngerasa gue paling gak peduli di sini. Kaya gimana ya, gue terlalu tertutup dari sahabat gue sendiri. Tentang apa pun, tentang hidup gue, tentang siapa pun. Tapi satu hal yang harus kalian tahu, kalian itu salah satu bagian terbaik dari hidup gue." Hening masih menyelimuti dengan empat pasang mata menatap ke arah Shakeel.

"Emang jatuh cinta bisa bikin orang jadi menye-menye gini ya?" celetuk Dirman setelah hening terlalu lama menyelimuti suasana siang itu.

"Gue serius ih, malah pada bercanda," dengus Shakeel.

"Santai aja kali, Keel. Udah berapa tahun sih kita temenan? Masih juga ngerasa kaya gitu."

Senyum Shakeel mengembang. Banyak hal yang terjadi sore itu. Sesi curhat seorang Samudera, konser dangdut Dirman dan Ghani, Milan yang mengeluh karena Yasmin belum memaafkannya, serta ejekan-ejekan kecil tentang Deev yang membuat jantung Shakeel berdebar.

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang