Pentas drama berjalan dengan baik hari ini. Tidak sia-sia apa yang sudah mereka persiapkan sebelumnya. Kursi penonton yang disiapkan juga terisi penuh, membuat senyum terbit di wajah setiap panitia. Deev pulang bersama Shakeel hari ini. Drama ini membuat mereka lebih sering bertemu, mengobrol, dan berujung pulang bersama. Seperti saat ini.
"Mau langsung pulang atau mau mampir ke mana gitu nggak?" tanya Shakeel di tengah jalan.
"Pulang aja, aku capek."
"Oke deh."
Sesampai di depan gerbang rumahnya, Deev turun dari motor dan melepas helm milik Shakeel.
"Kamu mau ketemu anak panti?"
"Memangnya boleh?"
"Kenapa harus nggak boleh?"
Shakeel tersenyum dan segera menuntun vespanya masuk ke garasi rumah Deev. Ia menunggu di atas motor karena katanya Deev mau meminta izin ke Bunda dulu karena sepertinya Bunda sedang kedatangan tamu. Ada mobil sedan yang terparkir di garasi.
Deev melangkahkan kaki dengan senyum yang sepertinya tak mau pergi dari wajahnya. Namun, niatnya untuk masuk ke rumah tiba-tiba terhalang karena ia mendengar percakapan dari dalam.
"Dia anak kamu Aryo!"
Anak? Siapa yang anak siapa?
"Mau sampai kapan kamu terus bersembunyi seperti ini? Dia butuh ayah!"
"Aku nggak bisa. Aku nggak siap kalau dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku takut dia nanti membenciku. Aku nggak pantas jadi ayah buat dia!"
"Tapi Deev anak kamu Aryo!"
"Apa dia masih mau menerimaku menjadi ayahnya kalau dia tahu aku yang membunuh ibunya?"
Ayah?
"Bunda, ini maksudnya apa?" kata Deev lirih di depan pintu.
"Deev?" Bunda menoleh ke arah Deev dengan wajah panik.
Saat itu juga, dunia Deev rasanya runtuh. Tangisnya pecah tiba-tiba. Hatinya hancur. Semuanya terasa berkali-kali lebih menyakitkan. Rasanya seperti ada anak panah yang berhasil menembus jantungnya. Iya, sesakit itu. Deev berlari ke arah Shakeel sambil menahan tangisnya. Laki-laki itu pun bingung dengan apa yang terjadi.
"Bawa aku pergi dari sini, Keel. Aku mohon," kata Deev di tengah tangisnya.
Shakeel tak banyak bicara. Karena bertanya 'kenapa?' pun tak akan membuat Deev lebih baik. Ia hanya menyerahkan helm di tangannya, lalu melaju tanpa tujuan entah ke mana. Deev masih menangis, tanya Shakeel juga semakin besar. Shakeel akhirnya berhenti di telaga yang sama. Di mana dia pernah menghabiskan senja bersama Deev di sana.
"Saya nggak tahu harus bawa kamu ke mana, tapi di sini kamu bisa nangis sepuas kamu," kata Shakeel sambil melepas helm dari kepala Deev.
Mereka kemudian duduk di tempat yang sama. Deev menekuk lututnya lalu menjadikannya bantal untuk menangis. Shakeel hanya diam sambil menepuk-nepuk bahunya pelan. Ia hanya akan menunggu perempuan itu menceritakan apa yang terjadi, Shakeel tak akan memaksanya.
Deev menegakkan tubuhnya, hidungnya memerah, seragam sekolahnya mulai basah karena air mata.
"Duniaku rasanya seketika hancur Keel."
Deev mulai membuka suaranya, Shakeel masih diam dan mendengarkan.
"Tadi, aku mendengar percakapan Bunda dengan seorang laki-laki. Bunda bilang dia ayahku. Laki-laki itu juga bilang kalau dia yang membunuh ibuku, Keel. Duniaku rasanya hancur."

KAMU SEDANG MEMBACA
Uncountable Memories
Teen FictionMenurut kamu, memori itu sebuah hal yang bisa terhitung atau tidak? Shakeel terbiasa hidup dengan memori yang penuh luka. Jika didefinisikan dengan warna, hidupnya yang semula indah seperti ketika warna pelangi disatukan, tiba-tiba menjadi hitam sec...