Blueberry Muffin

199 22 6
                                    

Mungkin teman-temannya benar. Ia banyak tersenyum akhir-akhir ini. Entah kenapa, wajah Deev melintas di kepalanya setiap Shakeel mencari alasan atas senyum dan bahagianya. Shakeel bisa dengan leluasa melepas semua bebannya pada perempuan itu, padahal baru beberapa bulan ia mengenalnya. Tak banyak pertemuan yang terjadi. Tak banyak sapaan yang terlontar dari keduanya. Hanya saja, setiap waktu yang ia lewati bersama gadis itu seakan membeku. Semua terekam menjadi untaian kenangan yang membentuk alur.

Setiap bersama Deev, ia bisa menjadi Shakeel yang terbuka, Shakeel yang mematahkan topeng bahagianya, Shakeel yang sebenarnya. Tak perlu bersembunyi di balik sifat misterius dan dingin hanya untuk menyembunyikan gelap hidupnya. Apakah semesta memang mengirimkan Deev untuk menjadi penyembuh luka yang selama ini ia tunggu? Mungkin ini saatnya ia melepas semua masa lalu yang semakin hari membuat hatinya semakin terluka.

***

Akhir-akhir ini langit sering menangis, tanpa henti, tanpa menghadirkan pelangi. Awan kelabu selalu menaungi langit Jakarta seolah memberi tanda bahwa langit benar-benar sedang bersedih. Alhasil, Deev selalu berangkat dengan payung biru pastel di tangannya.

Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Deev melipat payung biru pastel miliknya lalu meletakkan payung biru itu di keranjang yang terletak di samping pintu kelasnya. Deev memilih duduk di samping jendela yang berhadapan langsung dengan taman sekolah. Ia duduk menyamping dan menyenderkan tubuh pada rangka kursi. Matanya menatap ke arah taman sekolah yang masih sepi. Hujan turun cukup deras, membentuk tirai air yang menyejukkan. Angin berhembus pelan, memaksa dahan pohon taman untuk menari pelan.

Semua siswa yang berada di luar tak luput dari payung dan jas hujan mereka. Namun, bayangan Deev terkunci pada dua manusia yang sedang berjalan di koridor dekat taman. Seorang laki-laki dengan jaket abu-abu, juga perempuan yang tingginya sebahu laki-laki di sampingnya yang tengah memegang payung berwarna merah hati. Keduanya tersenyum lebar seolah bertentangan dengan langit pagi ini. Deev tak bisa mendengar tawanya, tetapi sorot mata laki-laki itu menunjukkan bahwa ia benar-benar bahagia. Gadis yang berjalan di sampingnya juga tak berhenti tersenyum dengan pipi memerah.

Raga dan Nami. Deev tersenyum sinis, bayangan akan rasa sakitnya kembali hadir. Bukan, bukannya Deev tidak suka melihat Raga bahagia. Sahabat mana yang tidak ikut bahagia ketika sahabatnya tertawa lepas seperti ini? Hanya saja, ada sedikit luka yang menganga akibat alasan tak masuk akal dari Raga. Bukankah terlihat tak masuk akal ketika memutuskan persahabatan demi cinta? Sudah seperti sinetron picisan di televisi yang selalu diputar setiap pagi.

Ia mengalihkan pandangannya dari jendela, mengeluarkan laptop dari dalam laci, lalu membuka blog yang akhir-akhir ini tidak pernah absen dari daftar bacaannya. Entah mengapa, tulisan-tulisan Shakeel seolah menjadi candu bagi Deev. Tulisan yang kadang menghadirkan bahagia, tapi kadang sarat akan duka. Lalu, sisa waktu sebelum bel masuk berbunyi ia habiskan untuk membaca seluruh tulisan laki-laki itu.

***

Kelas berangsur kosong sejak bel berbunyi sepuluh menit yang lalu. Kini, hanya ada Deev dan Luna yang mendapat tugas piket hari Kamis siang.

"Deev, gue duluan ya. Mau ada acara keluarga, tapi gue udah piket kok," ujar Luna sambil meletakan kemoceng di pojok kelas.

"Iya, santai Lun. Ini juga udah hampir selesai kok," balas Deev mengangguk.

Deev melanjutkan kegiatan menyapunya sebelum akhirnya perhatiannya terpecah karena melihat Shakeel berdiri di sebelah pintu. Mata mereka bertemu pada garis yang sama. Shakeel melemparkan seulas senyum yang sangat jarang Deev lihat sebelumnya. Hanya memandang senyum itu saja, jantung Deev sudah berdebar. Apakah jatuh hati selalu seperti ini? Mampu membawa perubahan hanya dalam sepersekian detik dalam hidup.

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang