Balon

199 24 0
                                    

Shakeel bergegas pulang ke rumah setelah menghabiskan sebagian senjanya bersama Deev. Perempuan itu selalu mengingatkan Shakeel akan seseorang di masa lalunya. Seseorang yang menjadi alasannya tak mau membuka hati kembali. Seseorang yang pernah dicintainya setengah mati namun dibalas setengah hati. Satu tahun telah berlalu, namun ia belum bisa berdamai dengan masa lalu. Laki-laki itu bergegas meraih handuk berniat untuk mandi sembari mendinginkan pikirannya. Terlalu banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini.

Selepas mandi, ia merebahkan dirinya di kasur sambil membuka laptop yang tadinya berada di nakas. Ketika membuka blog miliknya, ada notifikasi komentar yang masuk. Ini bukan hal asing lagi bagi Shakeel. Ia sering mendapati komentar dari banyak pembaca tulisannya, dan itu membuatnya semakin senang menulis. Yang asing adalah, jika biasanya komentar masuk dari postingan terbaru miliknya, ada seseorang yang mengomentari tulisan yang ia posting setahun yang lalu. Pada tulisan yang kembali mengingatkannya akan gadis masa lalunya.

Anonim Some memories maybe make you feel blue. But remember, without them, you can't be as strong as you are today, keep moving forward :)

Shakeel tersenyum simpul setelah membacanya. Ia lalu membalas komentar tersebut dan kembali mem-posting sebuah tulisan di blog miliknya. Baginya, ini adalah hiburan atas segala rasa sakit yang dideritanya. Kerinduan terhadap ayahnya, perjalanan memaafkan masa lalunya, semua hal tentang hidup Shakeel.

Pernah nggak sih, lo bertanya sama diri lo masing-masing. 'Seberapa penting kenangan untuk diingat?'

Gue sih pernah, gue pernah menyerah karena terus berkutat dengan segala beban masa lalu gue yang sialnya masih tersimpan rapi di folder bernama kenangan. Sialnya lagi, nggak semua kenangan itu enak buat diingat, ada beberapa kenangan yang kalau diingat malah mengorek luka. Contohnya punya gue ini. Setiap kali lo nengok dan melihat apa yang terjadi dulu, hati lo rasanya sakit, tapi nggak berdarah. Hehe. Mereka, para kenangan itu, buat lo bertanya lagi, "kenapa itu harus terjadi?" atau "kenapa gue dulu ngelakuin itu?" Seakan mereka adalah cerminan dari masa lalu lo, portal yang akan membawa lo kembali ke masa-masa itu.

Tapi lambat laun gue sadar, tanpa mereka, hidup nggak akan meninggalkan cerita apa-apa. Coba kalau setiap orang nggak punya kenangan, mereka nggak akan tahu bagaimana caranya memaafkan masa lalu, bagaimana caranya menghargai masa lalu, dan bagaimana caranya memuseumkan banyak kejadian luar biasa dalam hidup mereka. Pasti rasanya hampa. Sekali pun kenangan mengingatkan atas kejadian pahit yang nggak seharusnya diingat, bukannya itu adalah cara mereka untuk membuat lo belajar, bahwa hidup akan tetap berjalan? Tak peduli apa yang terjadi kemarin, hidup akan tetap berjalan. Dengan atau tanpa lo.

Ada yang pernah bilang sama gue, bahwa semuanya akan baik-baik aja. Dia bilang, cepat atau lambat, yang terluka akan menemukan penyembuhnya. Yang sakit akan menemukan penawarnya. Berkat dia, gue yakin bahwa semua emang akan baik-baik aja. Buktikan ke diri lo sendiri, nggak semua kenangan buruk itu akan memperburuk hidup lo, bisa jadi ia adalah dongkrak, yang akan buat lo jadi lebih baik. Selamat mengenang. Masa lalu yang buruk nggak menjanjikan masa depan yang buruk pula, keep moving forward.

Laki-laki itu segera menutup laptopnya, lalu turun ke lantai bawah. Ibunya duduk di sofa ruang keluarga. Televisi di depannya menyala, namun pandangannya terlihat kosong. Shakeel menghela nafas pelan. Ia lelah melihat pemandangan ini. Sejak tiga tahun yang lalu, ibunya mengidap Post Traumatic Stress Disorder, atau yang lebih dikenal dengan PTSD. Sebuah kondisi mental di mana penderita akan mengalami serangan panik yang dipicu oleh trauma pengalaman masa lalu. Kadang ibunya terlalu banyak menyendiri, kadang ia berhalusinasi membayangkan ayahnya ada di sana. Tak jarang ia menjadi panik entah karena alasan apa. Keluarga mereka sudah melibatkan banyak dokter psikologi untuk menangani masalah ibunya, namun tak ada yang berubah.

Kursi roda yang menjadi penopang tubuh ibunya bergerak pelan menuju pintu. Shakeel segera menghampiri ibunya.

"Mama mau kemana?" tanya Shakeel lembut, berjongkok di hadapan ibunya.

"Mama mau ketemu Ayah, Mama kangen Ayah."

"Ma," potong Shakeel sambil mengusap pipi ibunya dengan ibu jari.

"Tadi Mama lihat Ayah di luar, No. Ayah duduk di kursi itu sambil minum kopi." Ibunya memaksa pergi ke luar, tangannya yang mulai rapuh ia paksa untuk mendorong kursi rodanya.

"Ma, cukup!" Shakeel sedikit berteriak, air mata ibunya kembali jatuh. Ia memegang kedua bahu ibunya sambil menatap matanya lembut.

"Mama sekarang masuk ya, minum obat, terus istirahat. Kasihan Zareen dari tadi nyariin Mama."

Ia mendorong kursi roda ibunya ke arah berlawanan. Matanya sendu, hatinya sakit. Tiga tahun yang lalu, ibunya adalah wanita yang kuat dan ceria. Sosok yang selalu membuat Shakeel tersenyum, yang selalu memarahi Shakeel ketika ia melakukan hal yang salah. Sekarang, melihat ibunya tersenyum dan bahagia sudah menjadi hal yang luar biasa bagi Shakeel. Andai apa yang terjadi setiap detik dalam hidup manusia bisa diatur sesuai keinginan kita, mungkin tak akan ada kesedihan di dunia ini.

***

Sepulang sekolah, Shakeel bergegas untuk memenuhi janjinya kemarin. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan, hanya saja, ia ingin melakukan itu. Ia ingin melihat perempuan itu tersenyum, ia tak suka melihatnya bersedih. Setiap melihat Deev, bayangan Zayya selalu muncul. Namun Shakeel paham, mereka adalah dua sosok yang berbeda. Shakeel tidak bisa menyamakannya. Apa sikap terbuka Shakeel terhadap Deev selama ini semata-mata karena ia melihat Zayya di diri Deev? Ataukah memang sebuah ketulusan yang sebenarnya? Pertanyaan itu selalu mengganggu batin Shakeel.

Tiga langkah di depannya, perempuan itu tengah duduk dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya. Rambutnya yang tergerai bergerak ke kiri karena tiupan angin. Shakeel mendekat dengan kedua tangan berada di saku. Deev masih belum menyadari keberadaan Shakeel di sana. Mata perempuan itu terpejam, menampakkan bulu mata lentik alami miliknya. Mulutnya menyenandungkan lagu barat yang ia dengarkan.

"Ehm," Shakeel berdeham sedikit keras agar perempuan itu mendengar. Ia duduk di kursi semen yang tersisa. Deev sedikit terkejut dan melengkungkan senyum yang biasa Shakeel lihat.

"Aku kira kamu nggak akan dateng." Deev membuka earphone-nya lalu memasukkannya ke dalam tas.

"Saya bukan orang yang suka ingkar janji," balas Shakeel, Deev mengangguk samar.

"Is everything alright?"

"Just so so. Aku belum ketemu dia hari ini."

Shakeel mengeluarkan sesuatu dari dalam tas miliknya, lalu menyerahkan salah satu dari benda itu kepada Deev.

"Balon? Untuk apa?"

"Untuk segala perasaan yang tak terucap dan kamu nggak ingin siapa pun mendengarnya. Buang semuanya di dalam balon itu, lalu lepaskan, seperti ini."

Shakeel meniup balon biru muda yang ada di tangannya. Matanya menatap Deev sambil mengangguk seolah memberi perintah agar perempuan itu mengikuti apa yang ia lakukan. Deev meniup balon yang sama dengan penuh tenaga. Kedua balon mereka membesar terisi segala beban dan masalah masing-masing. Shakeel bisa melihat nafas Deev tak beraturan ketika menyelesaikan tiupan balonnya. Besar balon milik Deev dua kali lipat dari balon miliknya. Keduanya lalu tertawa sambil melepaskan balon itu ke angkasa.

"Capek juga ternyata," keluh Deev sambil mengatur nafasnya.

"Tapi seenggaknya kamu lega, kan?" Deev tersenyum.

"Makasih ya, Keel. Makasih udah ngebuktiin kalau semua emang baik-baik aja."

"Saya antar kamu pulang."

Shakeel berjalan mendahului perempuan itu. Ia tak bisa memungkiri bahwa hari ini ia bahagia. Sejenak ia bisa melupakan satu per satu masalah yang ada di hari-harinya. Melihat Deev tersenyum juga menjadi salah satu alasan kebahagiaan itu. Apakah ini saatnya Shakeel kembali membuka hatinya yang sekian lama tertutup rapat? Jika orang itu adalah Deev, Shakeel jusru takut. Shakeel takut jika ia melihat Deev sebagai Zayya. Shakeel takut ia peduli kepada Deev hanya karena ia melampiaskan masa lalunya. Shakeel takut bahwa membiarkan Deev masuk ke dalam kehidupannya adalah pilihan yang salah. Lalu, apakah Shakeel mampu untuk kembali membuka hatinya dengan berbagai rasa takut yang menghantuinya?

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang