Shakeel buru-buru memarkirkan motornya, lalu bergegas ke dua belas MIPA 5―kelas Dirman. Namun, Shakeel lupa suatu fakta bahwa Dirman satu kelas dengan Deev sehingga saat ia masuk ke dalamnya, yang dia temukan bukan Dirman, tapi perempuan itu. Tangan kanannya mengetuk-ngetukkan pensil di dahi, satu tangan yang lain memegang lembaran soal. Shakeel tersenyum kecil melihatnya. Ia bahkan sampai lupa niat awalnya berada di ruangan ini. Shakeel menghampiri gadis itu, lalu duduk di kursi di depannya.
"Hai," sapa Shakeel membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya.
"Kamu?" ujar Deev sedikit terkejut, ia menegakkan posisi duduknya.
"Kamu ngapain ke sini?" lanjut gadis itu.
"Mau cari Dirman. Tapi kayanya dia nggak ada di kelas ya?"
"Tadi Dirman baru aja pergi, Keel."
"Kamu tahu enggak dia ke mana? Saya sama sahabat-sahabat saya udah nyari dia dari tadi."
"Nggak tahu, tadi sih cuma ke kelas sebentar, terus pergi lagi."
"Oh yaudah deh," balas Shakeel sambil menganggukkan kepala.
"Kok tumben nyariin dia?"
"Dirman lagi ngambek." Shakeel menggaruk tengkuknya sambil membenarkan posisi duduk.
"Seriusan?"
"Iya. Tadi saya sama anak-anak lain ya biasa lah, cuma bercanda, tapi nggak tahu dia jadi baper gitu."
"Dirman nggak cerita ke kamu kalau dia ada masalah?" tanya Deev, Shakeel menggeleng pelan.
"Tadi waktu Dirman ke sini, dia cerita sedikit tentang masalahnya. Katanya, ibunya lagi sakit. Dia pengen pulang, tapi nggak ada uang. Aku udah nawarin sebenarnya, tapi Dirmannya nggak mau ngrepotin katanya."
"Anak itu, seorang asingkah itu apa saya sama yang lain? Kalau dia cerita ke kami, kita kan jelas bantu dia, nggak harus kaya gini," gerutu Shakeel.
"Mungkin dia juga lagi ada di posisi nggak enak, Keel. Jadi dia nggak bisa cerita sama kalian," balas Deev sambil tersenyum, Shakeel mengangguk-angguk.
Setiap kali ia berada di peredaran perempuan itu, jantungnya selalu tak tenang. Riuh. Darahnya seakan mengalir lebih cepat. Rasa yang dulu ada lalu sirna, kini kembali muncul. Telinganya menjadi lebih tajam ketika ada orang lain yang menyebut nama gadis itu. Matanya menjadi lebih jeli di keramaian, mencari gadis itu. Semua seolah hanya tentang Adeeva Kaaria. Perempuan ketiga setelah ibunya dan Zareen yang akan selalu ia jaga.
"Mau lihat senja sore ini?" tawar Shakeel membuat Deev kembali mendongak meninggalkan soal kimianya.
"Boleh," balas Deev sambil tersenyum. Senyum yang selalu menjadi candu bagi Shakeel.
"Ya udah, kamu selesain dulu tugasnya. Saya tunggu di luar aja."
"Kenapa nggak nunggu di sini?"
"Kalau saya di sini, kasihan jantung saya, berdegupnya melebihi tempo, nanti bisa loncat." Shakeel segera keluar dari ruangan, meninggalkan Deev dengan pipi yang memerah.
Lima belas menit kemudian, tugas Deev selesai. Ia segera membereskan alat tulis dan bukunya, lalu beranjak keluar. Shakeel duduk di bangku samping kelasnya, seperti biasa. Ia hanya duduk, menatap lurus ke depan, entah apa yang laki-laki itu pikirkan. Adakalanya, ia bisa menjadi teka-teki paling rumit yang harus Deev pecahkan. Lalu, ia juga bisa berubah menjadi buku indah yang siap Deev baca tanpa perlu berpikir.
"Yuk," ujar Deev membuyarkan lamunan laki-laki itu. Ia kemudian bangkit berdiri dan melemparkan senyum kecil untuk Deev.
"Saya punya spot baru untuk melihat senja."
"Di mana?"
"Rahasia."
"Bisa nggak sih, kamu nggak misterius terus?"
"Saya nggak misterius, Deev."
"Lalu apa namanya? Membingungkan?"
"Bukan juga," jawab Shakeel sambil melangkah meninggalkan Deev di belakang.
"Saya sebenarnya nggak rumit, tapi kadang hidup yang memaksa saya menjadi rumit," lanjutnya kemudian.
Apa hidup sebegitu kejamnya, hingga ia membuatmu serumit ini, Keel? Kamu seperti kepingan puzzle yang harus aku susun rapi, tapi ternyata ada bagian yang hilang. Gambar yang mulai terbentuk akhirnya tidak nampak sempurna.Aku yang hampir tersenyum karena susunan itu selesai, harus menahan lebih lama agar kepingan itu kutemukan. Aku ingin tahu ujung dari teka-teki ini. Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya. Kamu yang benar-benar kamu. Bukan kamu yang mencoba tersenyum padahal hancur. Bukan kamu yang penuh rahasia, seperti saat ini, Keel.
"Tungguin, dong!" teriak Deev yang sudah tertinggal cukup jauh.
![](https://img.wattpad.com/cover/121611153-288-k157266.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncountable Memories
Genç KurguMenurut kamu, memori itu sebuah hal yang bisa terhitung atau tidak? Shakeel terbiasa hidup dengan memori yang penuh luka. Jika didefinisikan dengan warna, hidupnya yang semula indah seperti ketika warna pelangi disatukan, tiba-tiba menjadi hitam sec...