Motor vespa biru yang kelihatannya sangat Shakeel sayangi itu telah berhenti di tepi telaga. Tinggal sebentar lagi, senja kesukaan keduanya akan tiba. Deev mengikuti Shakeel duduk di tepi lain telaga. Sesekali matanya mencuri pandang sambil menormalkan detak jantung yang tak pernah lelah untuk berdegup lebih kencang. Laki-laki itu menekuk lututnya, lalu menguncinya dengan kedua tangan yang dikaitkan. Matanya menatap ke depan, ke arah bunga teratai yang mengapung di atas telaga. Lalu, ia menoleh, mata mereka bertemu. Pandangan mereka terkunci. Keduanya sama-sama diam, hingga Deev akhirnya memutus kontak mata itu lalu berdeham pelan.
"Kamu kenapa suka senja?" tanya Shakeel setelahnya.
"Nggak tahu aja, buat aku senja selalu istimewa. Ia selalu tahu bagaimana cara membuat sepasang mata yang menatapnya terpesona," jawab Deev. Shakeel mengangguk pelan.
"Berarti kaya kamu dong?"
"Eh?" Deev sedikit terkejut dengan ucapan Shakeel barusan, sedangkan laki-laki itu malah tertawa kecil.
"Sebelum kenal saya, kamu sering lihat senja sama siapa?" tanya Shakeel dengan tatapan yang masih terfokus pada bunga teratai itu.
"Sendirian."
Shakeel menolehkan kepalanya. Ia menatap manik mata milik Deev dalam. Tak usah bertanya bagaimana kondisi jantung Deev saat ini. Rasanya ia ingin berteriak, lalu mengeluarkan segala perasaannya yang tertahan.
"Saya janji, mulai saat ini dan seterusnya nanti, kamu nggak akan sendirian lagi." Shakeel tersenyum―senyum yang sangat jarang ia tunjukkan kepada orang lain.
Semesta, jantung Deev tidak kuat lagi! Rasanya seluruh oksigen di sini nggak cukup untuk Deev hirup sendirian. Semesta, Deev ingin dia. Keel, sejak kapan sih kamu bisa menjungkirbalikkan hatiku kaya gini?
"Jangan berjanji kalau belum tentu ditepati, Keel."
"Tapi laki-laki sejati nggak akan melanggar janji yang ia buat sendiri bukan?"
Deev tersenyum. Keduanya tersenyum, bersamaan dengan mega merah yang mulai memenuhi cakrawala. Sore itu menjadi senja paling indah bagi Deev.
"Deev, rasanya saya pengen banget jadi senja."
"Kenapa memangnya?"
"Biar bisa selalu menutup hari kamu dengan indah." Shakeel terkekeh geli dengan ucapannya sendiri.
"Memangnya Dirman udah ngajarin kamu gombal ke perempuan ya? Perasaan hari ini banyak banget ngomong kaya begituan." Deev menggelengkan kepala sambil terkekeh―mencoba bersikap biasa saja. Cukup dia yang tahu betapa bahagianya ia detik itu, Shakeel tak usah tahu.
"Ini bukan gombal, Deev."
"Hm?"
"Saya cuma bilang yang sejujurnya. Kalau pun menurut kamu ini gombal, saya gombalnya juga cuma ke kamu."
"Apaan sih, Keel," ujar Deev malu-malu sambil meninju pelan lengan Shakeel.
"Pulang yuk?" Deev mengangguk, lalu keduanya bergegas membelah jalanan sempit ditemani langit yang mulai kehilangan senjanya.
***
Shakeel mengucap salam, lalu masuk ke dalam rumah. Lampu utama bagian ruang tamu belum dinyalakan. Paling Mbak Sarti sedang sibuk menjaga Zareen. Ia lalu bergegas menuju kamar ibunya, memastikan bahwa ibunya baik-baik saja.
"Assalamualaikum, Ma," ujar Shakeel sambil mencium punggung tangan ibunya.
"Sudah pulang?" tanya ibunya―wajahnya terlihat resah dan murung.
"Mama kenapa lagi?" Shakeel berujar lembut, lalu mendudukan diri di samping ibunya. Tangannya belum melepas punggung tangan wanita kesayangannya itu. Ibunya menggeleng lemah. Matanya sembap.
"Ma, mau sampai kapan Mama kaya gini?" Shakeel berujar lemah, ia lelah menghadapi semuanya.
"Keano rindu Mama yang dulu, yang selalu duduk di depan TV sambil pegang majalah favorit Mama, yang masak ikan asam manis kesukaaan Keano, yang nggak segan-segan marah kalau Keano pulang kemaleman." Shakeel menahan tangisnya sambil merengkuh ibunya ke bahu lebarnya.
"Maafin Mama, Ke." Tangan perempuan itu terayun mengusap rambut anak laki-lakinya.
"Besok kita ke dokter ya, Ma?" Ibunya mengangguk.
Shakeel kembali menuju kamarnya. Sejak tiga tahun lalu, hidup memaksanya untuk menjadi laki-laki yang lebih kuat dibanding anak seusianya. Hidup menjadikannya lebih tangguh untuk setiap kisahnya. Shakeel tahu, semuanya tidak akan baik-baik saja, tetapi Tuhan tahu bahwa ia akan baik-baik saja. Bukankah semesta selalu adil dengan mendatangkan kesedihan sepaket dengan kebahagiaan?
***
Raga sudah berada di ruang tamu saat Deev tiba di rumah. Ia tertidur di sofa dengan kaki yang diluruskan. Di meja tamu sudah ada dua gelas kosong. Sepertinya laki-laki itu sudah lama menunggunya. Deev mendekat, lalu mencoba membangunkannya pelan.
"Ga..bangun."
"Gaa.."
Deev masih menggoncangkan lengan sahabatnya hingga ia terbangun.
"Baru pulang?" tanya Raga sambil meregangkan kedua tangannya.
"Hm. Lo udah lama di sini?"
"Dua jam."
"Kenapa nggak pulang aja tadi?"
"Gimana gue bisa pulang kalo jam segini lo belum sampai rumah? Dari mana sih?"
"Cuma keluar bentar tadi."
"Sama Shakeel?" tanyanya menyelidik―Deev mengangguk.
Raga menghembuskan nafas pelan. "Deev, salah nggak sih kalau gue takut lo ninggalin gue?"
"Lo ngomong apa sih, Ga? Ngigo ya?"
"Ternyata ini ya yang lo rasain waktu gue deket sama cewek ular itu dulu."
"Ga, sekarang dan sampai kapan pun, gue tetap akan jadi sahabat lo. Sampai kita sama-sama dewasa nanti, sampai kita punya orang yang kita sayangi nantinya, sampai rambut kita sama-sama beruban. Gue janji." Deev tersenyum sambil menatap mata sahabatnya lekat.
"Janji ya, apapun yang akan terjadi nanti, lo nggak akan ninggalin gue?" Deev mengangguk.
"Deev, kalau suatu saat hati lo patah, bilang sama gue. Biar gue buat remuk hati orang yang patahin hati lo."
"Kasihan dong hatinya?" canda Deev sambil tertawa dengan mata yang menyipit.
"Gue serius. Lo harus ingat kalau di sini ada gue, yang siap nangkap lo ketika jatuh, dan yang siap jaga di bawah waktu lo di atas."
"Makasih ya, Ga." Raga tersenyum dan memeluk tubuh perempuan itu.
Author Note :
Jadi, Shakeel atau Raga?
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncountable Memories
Novela JuvenilMenurut kamu, memori itu sebuah hal yang bisa terhitung atau tidak? Shakeel terbiasa hidup dengan memori yang penuh luka. Jika didefinisikan dengan warna, hidupnya yang semula indah seperti ketika warna pelangi disatukan, tiba-tiba menjadi hitam sec...