Milan Sakit

158 17 0
                                    

Milan kecelakaan. Lo bisa ke RS Permata Hati sekarang nggak? Gue harus pulang, nggak ada yang jagain dia.

Pesan yang masuk dari Sam membuat Yasmin melebarkan matanya. Jantungnya seperti melompat begitu saja. Ponsel yang ada di tangannya dicengkeram dengan kuat. Kecelakaan? Kenapa gue masih harus khawatir gini, sih? Buat apa gue masih mikirin seseorang yang jelas-jelas udah ninggalin luka lalu pergi gitu aja? Yas, sadar!

Yasmin masih sibuk bermonolog dengan hatinya. Ada satu sisi yang begitu khawatir, ingin bergegas ke sana untuk memastikan Milan baik-baik saja. Namun, sisi lain dari dirinya menyuruhnya untuk berhenti peduli, pergi pulang lalu menghabiskan waktu seperti biasanya. Semua menjadi sebuah kontradiksi yang rumit dan memuakkan. Segalanya menjadi terlalu sulit sejak kepercayaan yang selama ini ia berikan dihancurkan tanpa peringatan. Yasmin menyerobot tas yang masih ada di loker.

Ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Angkutan umum yang akan ia naiki sudah menunggu penumpang di halte. Yasmin duduk di kursi paling dekat dengan pintu. Dua pemikiran yang dari tadi memenuhi isi kepalanya belum juga menyatu. Datang, enggak, datang, enggak. Enggak! Ia kemudian menarik nafasnya singkat dan tersenyum untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan yang ia ambil sudah tepat. Namun..

"Bodo amat deh sama gengsi!" batinnya sambil turun dari angkutan yang akan mengantarkannya pulang.

***

Yasmin duduk di kursi sebelah hospital bed sambil menyilangkan kedua tangannya. Matanya menatap keluar jendela menghindari tatapan iris cokelat terang yang sedang berbaring di sana. Lima belas menit lalu, saat ia tiba di rumah sakit, Sam langsung pulang karena ada sesuatu yang harus ia urus. Sahabat Milan yang lain belum juga datang.

Sejak lima belas menit lalu pula, belum ada yang bersuara. Yasmin terus menatap ke jendela seperti sekarang, Milan menatap perempuan di sebelahnya tanpa suara. Kecanggungan ini benar-benar mencekik keduanya. Ada banyak hal yang ingin Milan jelaskan, tetapi ia masih rindu tatap teduh perempuan itu. Makanya ia memilih diam dan memperhatikan Yasmin yang sibuk dengan pikirannya.

"Yas," ujar Milan lirih membuat yang dipanggil menengokkan kepalanya.

"Anggapan lo soal foto yang lo lihat dulu nggak benar."

"Cukup, gue udah muak." Yasmin menghela nafas lelah dan kembali menatap jendela.

"Yas, dengerin gue please. Apa gue kalah ganteng sama jendela yang dari tadi lo liatin itu?"

"Apa lagi yang harus gue dengerin?"

"Gue nggak pernah selingkuh. Gue tahu gue suka tebar pesona ke cewek-cewek, tapi sumpah gue nggak akan tega main perasaan di belakang lo. Dulu kita ke mall nggak cuma berdua kok, ada Dodi, Pepin, dan Lulu. Tanya mereka kalo nggak percaya." Yasmin masih mendengarkan meskipun matanya tak berpaling.

"Waktu itu, yang lain lagi beli makanan, dan gue sama Via disuruh beli peralatan untuk keperluan kelas. Kebetulan kita papasan sama Roni, anak sekolah sebelah, dia mantannya Via. Via tiba-tiba pegang tangan gue gitu aja sambil bisikin gue untuk jadi pacar pura-puranya. Gue nggak tahu kalau ada Aline di sana, dan sialnya foto itu sampai ke elo dan bikin semua jadi rumit. Gue nggak bohong, Yas. Gue teleponin Via kalau nggak percaya."

Yasmin masih bungkam. Dadanya sesak. Ia tidak tahu yang ia dengar kebohongan atau bukan. Namun hampir seluruh dirinya menyuruhnya percaya. Bodoh jika ia membohongi dirinya sendiri bahwa rasa itu telah hilang. Nyatanya, kecewa tak mampu mengalahkan rasanya untuk Milan. Ia menatap laki-laki dengan perban di tangan dan dahinya. Raut wajah Milan seolah memohon agar Yasmin percaya dengan apa yang ia utarakan.

"Jadi, semua salah paham?" yang ditanya mengangguk.

"Gue minta maaf karena baru sempat jelasin, lagian lo selalu kabur setiap gue mau jelasin ini."

"Maafin Yasmin ya, Lan?"

"Iya, lain kali kalau gue mau jelasin, dengerin, jangan langsung tutup telinga gitu aja. Jangan menilai sesuatu dari omongan orang lain, Yas. Apa yang lo dengar dari mulut orang lain belum tentu benar, sekali pun itu orang yang paling lo percaya. Kita diberi pikiran untuk mencerna dan memahami, bukan hanya telinga untuk mendengar dari apa yang dibicarakan orang lain," tutur Milan lembut. Ia tersenyum dan mengusap puncak kepala gadis di hadapannya.

"Iya, maaf, nggak akan lagi."

"Balikan, yuk?"

"Ngajakin balikan kaya ngajakin orang ke kantin aja," seloroh seseorang yang baru masuk ke dalam. Ada Dirman, Shakeel, dan Ghani.

Yasmin berdiri dengan salah tingkah. Membiarkan Dirman, Shakeel, dan Ghani melihat keadaan Milan.

"Jadi, kata dokter gimana?" tanya Shakeel sambil menaruh jeruk di nakas.

"Keseleo kaki, sama retak tulang rusuk. Ini di dahi sama tangan lecet dikit sih."

"Sakit nggak, Lan?" Dirman menimpali sambil mengupas jeruk yang tadi mereka bawa.

"Ya sakit lah bego!"

"Tapi kan lo jadi bisa balikan," ejek Shakeel sambil terkekeh.

"Emm..anu..gue balik duluan ya semua." Yasmin pamit sambil meraih tas selempang birunya yang diletakkan di nakas.

"Eh, kok pulang, Yas?"

"Soalnya kan Milan udah ada yang jagain, nggak enak juga gue cewek sendiri."

"Kalau gitu besok kalau kesini ajakin Deev ya, Yas? Kayanya bakalan ada yang seneng," seloroh Ghani sambil mengedipkan mata ke arah Shakeel, yang dipandang hanya mendengus sambil menatap ke lain arah.

"Iya, ya udah gue duluan ya."

"Nggak ngucapin get well soon, dear ke gue nih?"

"Bodo amat," ketus Yasmin sambil berjalan menuju pintu.

"Sukurin lo Lan! Haha.. makanya jangan main-main sama cewek. Tebar pesona sana-sini." Dirman tertawa sambil melempar kulit jeruk ketiga yang ia kupas ke tempat sampah, Milan mendengus kasar.

Sisa sore itu mereka habiskan di ruangan dengan bau obat yang menguar. Dinding warna hijau pastel dan tirai merah muda yang menari-nari karena angin menjadi saksi bisu empat manusia dengan ceritanya masing-masing. Shakeel yang ditunjuk sebagai script writer pentas drama akhir tahun, Dirman yang tadi kena hukum Pak Bayat membersihkan toilet karena terlambat, Ghani yang sibuk memecahkan PR matematikanya, dan Milan yang terbaring di hospital bed dengan hati yang bahagia meskipun kondisi tubuhnya tak mendukung untuk menyalurkan bahagianya itu. Sam datang selepas senja hilang, menggantikan Shakeel dan dua lainnya pulang untuk menemani Milan karena orang tuanya belum datang.

Uncountable MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang