Pagi-pagi sekali, Shakeel sudah berada di toko kue untuk membelikan kue bolu kesukaan ibunya. Beruntung toko kue ini buka dua puluh empat jam sehingga Shakeel bisa datang ke sini di jam berapa pun. Matanya menelusuri etalase toko mencari kue bolu pandan kesukaan ibunya.
“Ada yang bisa saya bantu?” ujar seseorang yang sepertinya merupakan salah satu pegawai toko.
Shakeel melepaskan pandangannya dari etalase toko, menatap perempuan itu. Setengah bagian dirinya terkejut, setengahnya lagi tidak percaya.
Zayya Salsabil.
Perempuan itu sedang berdiri di hadapannya. Seseorang yang sempat mengisi ruang penting di hatinya.
Perempuan yang setahun lalu memilih pindah sekolah ke Bandung, kenapa saat ini bisa berdiri di sini? Shakeel menatap lekat perempuan itu.
Tubuhnya terlihat jauh lebih kurus, bagian bawah matanya menghitam seolah tidak pernah tertidur. Rambut yang dulunya panjang dan dikuncir rapi, sekarang berubah menjadi seperti rambut laki-laki.
Zayya kenapa?
Pertanyaan itu memenuhi kepala Shakeel. Bahkan dengan melihat wajahnya saja, kita bisa menarik kesimpulan kalau perempuan itu jauh dari kata baik-baik saja.
“Lo..lo Zayya kan?”
Perempuan itu hanya menunduk lalu mengangguk.
"Apa lo baik-baik aja?”
Zayya mengangkat kepalanya, lalu menarik senyum tipis.
“Bisa ngobrol sebentar?”
Tanpa menunggu jawaban Shakeel, Zayya langsung berjalan menuju salah satu meja. Toko kue ini memang merangkap menjadi coffee shop sehingga tidak heran jika desain ruangnya lebih mirip seperti kafetaria.
Shakeel menyusul perempuan yang sudah terlebih dahulu duduk. Selama tiga menit belum ada yang memulai percakapan. Shakeel juga tidak mau terlalu banyak bertanya, ia akan membiarkan Zayya yang menceritakan semuanya.
“Setahun yang lalu, lo tahu gue pindah kan?” Zayya memulai percakapan, Shakeel hanya mengangguk.
“Waktu itu gue pindah karena bokap dan nyokap gue memutuskan untuk cerai. Setiap hari yang gue dengar cuma teriakan bokap dan tangisan nyokap gue. Bokap gue ketahuan selingkuh sama sahabat nyokap gue sendiri. Mama marah dan memilih ngajak gue pindah ke Bandung.
Gue tahu Mama sebegitu bencinya sama Papa waktu itu, tapi Mama memilih diam dan memendamnya sendiri. Sampai mungkin dia lupa kalau dia masih punya gue di sini.
“Setiap hari yang Mama lakuin cuma nangis di kamarnya. Mama nggak menyangka kalau Papa akan setega itu sama kami. Bahkan gue sempat nemuin obat tidur berkaleng-kaleng di laci kamarnya. Raga Mama hidup, tapi hatinya enggak.
Mama bahkan nggak bisa diajak komunikasi sama sekali. Sampai hari itu, tepat satu bulan setelah kami pindah ke Bandung, gue... gue nemuin nyokap meninggal di kamarnya dengan serakan obat yang gue nggak tahu sama sekali itu apa. Mama overdosis.”
Shakeel mengulurkan kotak tisu kepada perempuan di hadapannya.
“Gue kalut, gue bahkan kaya jadi orang gila. Gue sering tiba-tiba nangis, tiba-tiba ketawa sendiri, gue kaya mayat hidup. Papa bahkan dengan nggak bersalahnya malah nyaranin gue untuk dibawa ke rumah sakit jiwa.
Papa nggak tahu kalau gue depresi, Papa nggak tahu kalau gue butuh dirangkul, bukan diasingkan. Berkali-kali gue ngelakuin self harm. Kadang gue bakar tangan gue sendiri, kadang gue nyilet tangan gue sendiri, karena waktu itu dengan ngelakuin itu rasanya emosi gue tersalurkan.
Gue bahkan dengan gilanya guntingin rambut gue sendiri. Satu-satunya hal yang ada di pikiran gue waktu itu cuma, gimana caranya biar gue bisa nyusul Mama.
“I hate that feeling, or maybe that situation. Like someone cares, but they don’t. Like I’m here, but I’m not. Like I belong somewhere else, anywhere but here, Keel.”
“I’m sorry to hear that. Tapi sekarang lo nggak apa-apa kan?”
“Ya seperti inilah gue sekarang. Beruntungnya gue ketemu sama Bu Lusi, pemilik toko kue ini. Dia ngadopsi gue jadi anaknya. And now, I feel much much better.”
“Stay strong Zay, make them wonder how you’re still smiling.”
“Thanks, gue boleh minta kontak lo yang sekarang?”
Percakapan pagi itu dilanjutkan dengan berbagai cerita dan obrolan. Shakeel sampai lupa, ada perempuan yang seharusnya ia beri kabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncountable Memories
Teen FictionMenurut kamu, memori itu sebuah hal yang bisa terhitung atau tidak? Shakeel terbiasa hidup dengan memori yang penuh luka. Jika didefinisikan dengan warna, hidupnya yang semula indah seperti ketika warna pelangi disatukan, tiba-tiba menjadi hitam sec...