Shakeel harus berkumpul di aula untuk membahas pentas drama akhir tahun. Lagi-lagi seperti tahun sebelumnya, ia dimintai tolong untuk menjadi script writer. Jika tahun-tahun sebelumnya ia jalani amanah itu dengan setengah hati, mungkin kini Shakeel akan menjalaninya dengan sepenuh hati. Entah semesta tengah mempermainkan mereka, atau ini memang salah satu dari bagian garis takdir? Deev duduk di kursi aula, memegang satu bendel panduan pentas drama seperti yang ada di tangannya.
Shakeel menghampiri perempuan yang memasang wajah serius itu, lalu duduk di kursi kosong berjarak dua kursi dari tempat Deev duduk.
"Serius banget, sih," katanya, membuat Deev menolehkan kepala.
"Loh, kok kamu di sini?"
"Nggak ada aturan Shakeel dilarang masuk kan?" Shakeel terkekeh membuat lawan bicaranya memutar bola mata.
"Ih, nyebelin."
"Saya ditunjuk jadi script writer di sini."
"Hah?" seru Deev dengan ekspresi kaget yang dapat dibaca oleh Shakeel.
"Kenapa kaget?" Yang ditanya menggelengkan kepala.
"Kamu partisipasi di acara ini juga?"
"Cuma bantuin siapin properti dan kostum kok."
"Berarti saya bakalan sering ngeliat kamu dong," goda Shakeel sambil tersenyum.
"Eh?"
"Lupain, Bu Dian udah datang."
Shakeel merutuki kalimatnya sambil salah tingkah. Deev benar-benar membuatnya menjadi Shakeel yang lain. Dengan mudahnya, ia menghancurkan benteng kokoh yang selama ini Shakeel bangun dan ia tutupi dari manusia lain hanya dalam satu kedipan mata. Karena sejak pertama Shakeel mengenalnya, ia tahu, benteng itu sudah lebur dan hilang saat berhadapan dengan Deev. Kamu berhasil membuat hidup saya bukan hanya tentang hitam dan abu-abu lagi, Deev. Dan kini, kamu membuat saya menyadari kalau perasaan ini bukan soal main-main atau sekadar ilusi. Shakeel menghela nafas, mencoba fokus kepada Bu Dian yang sedang berbicara di depan sana. Meskipun akhirnya, pikirannya penuh dengan perempuan yang duduk berjarak dua kursi darinya.
Tanpa Shakeel tahu, perempuan itu juga mati-matian menahan degup jantung yang tak pernah melambat setiap kali laki-laki itu di dekatnya.
***
Tema pentas drama sudah ditentukan. Tim properti juga sudah menyiapkan beberapa properti umum yang akan dibutuhkan sebelum naskah drama jadi. Deev duduk di pojok ruangan, di samping potongan kertas karton yang belum dibereskan. Buku hitam itu masih ada di tangannya, buku tentang daisy yang hampir ia selesaikan. Deev kira, buku itu adalah sebuah novel fiksi seperti yang biasa anak laki-laki berikan kepada teman perempuannya. Tapi ternyata, buku itu malah semacam ensiklopedia tentang daisy. Segala seluk beluk tentang bunga itu tertulis di dalamnya.
Shakeel memang berbeda. Manusia yang lebih memilih mengajaknya berteduh di warung kopi beratap ilalang daripada membuang waktu di coffee shop. Yang mengajaknya untuk bertemu, tapi ternyata hanya sebuah buku yang ada di sana. Deev tersenyum sendiri jika mengingat satu per satu memori yang sudah ia ciptakan bersama laki-laki itu.
"Belum selesai bukunya?" ujar seseorang mengagetkannya. Ia duduk di samping perempuan itu, seperti biasanya, ia selalu menyisakan jarak beberapa jengkal dari tempat Deev duduk.
Deev tersenyum kecil. "Belum, tinggal beberapa lembar sih."
"Dibaca semuanya kan?"
"Iya lah."
"Ya mungkin aja kamu bosan bacanya, mana ada sih yang ngasih kamu ensiklopedia selain saya," kekeh Shakeel sambil meraih buku itu dari tangan Deev.
Shakeel membolak-balikan halaman buku itu. "Kamu mungkin bingung, bagian mana yang mendeskripsikan kamu. Tapi saya nggak mau ngasih tau sekarang, nanti kalau kamu udah selesai juga tahu sendiri."
"Sok misterius," tawa Deev sambil membenarkan posisi duduknya.
"Deev, kamu mau tahu sesuatu enggak?" Deev mengangguk.
"Since you've been around, I smile a lot more than I use to."
Mulut Deev seolah terkunci. Ia tidak tahu sudah seperti apa wajahnya sekarang. Kepiting rebus, mungkin? Satu kalimat itu membuat jantungnya seakan melompat begitu saja. Ini beneran Shakeel? Hah? Yaampun, Keel, tanggung jawab, kamu bikin aku leleh tahu nggak! Deev masih bungkam, laki-laki itu meletakkan buku itu di sampingnya, lalu berdiri.
"Ya udah, saya pergi dulu ya. Takutnya wajah kamu nanti berubah jadi kepiting rebus beneran kalau saya di sini." Laki-laki itu tertawa, lalu berjalan menjauh.
Deev menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ya ampun, Deev malu semesta! Sejak kapan sih Shakeel belajar jadi manis kaya gitu?
Shakeel tidak benar-benar pergi. Dari tadi, ia berdiri di balik pintu sambil mengamati perempuan yang kelihatan merutuki dirinya sendiri. Rasanya lucu melihat Deev menghentak-hentakkan kakinya yang terjulur lurus ke depan sambil menutupi wajahnya. Shakeel sebenarnya juga tak merencanakan kalimat itu keluar dari mulutnya. Hanya saja, semua seolah berjalan tanpa skenario, terjadi begitu saja. Ia tertawa kecil, berbalik, lalu benar-benar pergi.
Author Note :
Hai hai, aku bakal up dua part hari ini. Waduh, Shakeel mulai ngegas nih :3 jadi makin cinta kan gue sama dia :(

KAMU SEDANG MEMBACA
Uncountable Memories
Fiksi RemajaMenurut kamu, memori itu sebuah hal yang bisa terhitung atau tidak? Shakeel terbiasa hidup dengan memori yang penuh luka. Jika didefinisikan dengan warna, hidupnya yang semula indah seperti ketika warna pelangi disatukan, tiba-tiba menjadi hitam sec...