Langit mendung, tapi tak menjanjikan hujan akan turun. Tangan kanan Shakeel mengulurkan helm kepada Deev yang dibalas perempuan itu dengan senyum andalannya. Motor vespa biru miliknya berjalan keluar dari gerbang sekolah dan membelah padatnya jalanan Jakarta sore ini. Ia melewati jalan tikus untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Perempuan yang diboncengnya sama sekali tak bergerak, Shakeel malah merasa seperti berboncengan dengan manekin. Tak ada yang berbicara. Ia mengamati Deev dari spion kirinya, anak rambutnya sedikit berantakan akibat ulah si angin. Matanya menatap jalanan sekeliling seolah menghindari tatapan dengan Shakeel. Laki-laki itu tersenyum singkat dan kembali fokus ke jalan yang ia lewati.
Tetes air membasahi tangan Shakeel yang memegang setang motor. Sepertinya langit hendak menangis kembali. Tangis yang dijatuhkan langit semakin banyak diiringi mega abu-abu yang mulai membaur satu sama lain. Shakeel menepikan motornya di sebuah warung kecil. Deev turun dari motor sambil mengusap air yang membasahi tangannya.
"Bu, numpang neduh ya," ujar Shakeel kepada pemilik warung, si ibu mengiyakan sambil tersenyum.
"Kita neduh di sini bentar ya, saya nggak bawa jas hujan." Shakeel melepas helm lalu duduk di bangku kayu di depan warung itu.
"Santai aja."
Yang terdengar hanyalah suara rinai hujan yang semakin bising. Dedaunan pohon menari-nari di bawah iringannya. Bau kopi dengan asap yang mengepul memenuhi warung berdinding bambu yang mulai melapuk. Tak ada yang berbicara. Deev menggesekkan kedua telapak tangannya untuk menghalau dingin.
"Kamu mau kopi?" Entah kenapa mulut Shakeel tiba-tiba mengatakan hal itu.
"Boleh." Perempuan itu mengangguk, tangannya ia lipat di dada menahan dingin yang menusuk.
Shakeel menghampiri ibu pemilik warung, lalu kembali dengan dua gelas kopi, satu kopi hitam dengan sedikit gula di tangan kirinya, dan kopi susu di tangan yang satunya. Asapnya mengepul, bau khas kopi menyeruak di tengah aroma petrikor sore ini. Kopi susu di tangan Shakeel berpindah ke tangan yang lain. Deev mengangguk dan tersenyum simpul sambil mengatakan terima kasih.
Shakeel masih mengamati apa yang perempuan itu lakukan. Matanya menatap lurus memandang hujan yang jatuh sambil menyeruput kopinya pelan. Sifatnya benar-benar mengingatkannya akan Zayya. Bagaimana caranya tersenyum, bagaimana caranya meluapkan emosi, dan itu membuat hati Shakeel merasa ngilu. Lidahnya kelu untuk mengatakan bahwa ia rindu pada gadis itu. Mulutnya mengingkari hatinya yang berteriak mengucap nama Zayya. Shakeel kira, ia akan dengan cepat melupakannya setelah begitu dalamnya luka yang Zayya tinggalkan. Nyatanya tidak, sesakit apa pun masa lalu, akan ada alasan yang membuat kita menjadi rindu. Ia meneguk kopi hitam miliknya, membiarkan rasa pahit membunuh rasa rindu yang ada.
"Kenapa kopi hitam?" tanya Deev mencairkan suasana.
"Rasanya pasti pahit banget," lanjutnya.
"Tergantung bagaimana cara menikmatinya."
"Maksudnya?"
"Ketika kamu minum kopi hitam, nikmati. Jangan lihat rasa pahitnya, tapi lihat bagaimana rasanya yang menenangkan. Jangan berpikiran kalau rasanya pahit ketika minum, nikmati setiap tegukan yang tersisa. Rasa pahit itu membunuh segala masalah dan benang kusut yang bertambah runyam di kepala saya." Shakeel menarik napasnya pelan, lalu kembali menyesap isi gelas yang tinggal separuh.
"Everyone has their own pain, so are you." Kedua ujung bibir Deev terangkat sedikit menampakkan senyum sendu.
"She broke my heart. But I still love her with all the pieces."
Shakeel tidak tahu kenapa ia menjadi seterbuka ini kepada Deev. Jika biasanya ia akan sulit membuka diri kepada orang baru, tidak kepada Deev. Seakan membagi masalahnya dengan perempuan itu bukanlah hal yang salah. Ia tidak peduli konsekuensi apa yang akan ia terima ketika perempuan itu mengetahui semuanya. Karena beberapa alasan, Shakeel tahu, Deev telah melihat siapa dirinya yang sebenarnya. Shakeel yang lemah, Shakeel yang memiliki segudang masalah, Shakeel yang terkadang lelah dengan keadaan. Setengah topengnya telah ia buka di hadapan perempuan itu. Lalu, bagaimana dengan setengah yang lain?
***
Ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu terasa senyap. Dua sofa kecil diduduki oleh seorang wanita paruh baya dan lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun. Dua cangkir teh hangat dan sepiring kue kering tersaji di meja kaca bundar berwarna hitam. Langit masih menangis di atas sana. Mereka terlibat dalam percakapan kecil. Ekspresi wajah serius nampak di kedua wajah masing-masing.
"Sampai kapan kamu mau begini, Yo?" Bu Maimun menatap pria yang duduk di hadapannya, kedua matanya nampak gelap karena terlalu sering begadang.
"Saya belum siap. Saya takut dia akan membenci saya." Raut wajah khawatir terlihat jelas ketika pria itu mengatakannya.
"Tujuh belas tahun. Sudah sekian lama anak itu hidup tanpa ayah dan ibunya. Apa kamu nggak akan ketemu dia barang hanya sekali? Kasihan dia, Yo."
Pria itu menghela napas pelan. Ia menyeruput teh hangat yang sama sekali belum disentuhnya. Pikirannya berkecamuk membayangkan banyak kemungkinan yang terjadi.
"Saya takut dia nggak akan bisa menerima keadaan saya saat ini. Saya nggak mau dia malah semakin sedih nantinya."
"Beberapa tahun yang lalu, Deev selalu bertanya di mana ayahnya, siapa ayahnya, mengapa ayahnya tega meninggalkannya. Saya nggak punya kekuatan untuk menjawab itu semua pertanyaan itu. Hingga beberapa tahun terakhir, ia tak pernah menanyakannya lagi, seolah dia sudah terbiasa hidup tanpa seorang ayah. Saya memang bukan ibunya, tapi hati saya ikut sakit melihatnya seperti itu, Yo."
"Saya akan memikirkannya lagi. Ini uang sekolah dan biaya hidupnya bulan ini. Kalau dia butuh sesuatu, beri tahu saya. Saya harus pamit."
Bu Maimun meletakkan cangkir teh yang ada di tangannya di meja sambil geleng-geleng kepala. Sebuah amplop putih tergeletak di sana. Laki-laki itu telah pergi beberapa menit yang lalu. Bu Maimun berharap ia bisa mengubah jalan pikirannya segera.
Di lain tempat, hujan belum juga reda. Dua remaja SMA itu masih menunggu di bangku kayu sambil menghabiskan isi gelas masing-masing. Tak banyak pembicaraan yang terjadi. Tak ada yang berani memulai, mereka sibuk dengan isi pikiran masing-masing. Deev memainkan ujung kakinya dengan lantai. Percakapannya dengan Shakeel beberapa menit lalu masih terngiang di kepalanya. Laki-laki itu sama sekali belum melupakan masa lalunya, dan entah kenapa hati Deev sedikit terluka. Seperti ada perasaan tidak terima tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Udah agak reda, kita pulang sekarang gimana? Keburu maghrib." Kalimat yang dilontarkan laki-laki itu membuyarkan lamunannya dan mengembalikannya ke dunia nyata.
"Eh, iya sekarang aja."
Keduanya bangkit meninggalkan dua gelas kopi yang tak hangat lagi di dinginnya hujan. Mereka berterima kasih kepada si ibu pemilik warung lalu memakai helm-nya masing-masing. Motor vespa biru klasik milik Shakeel kembali membelah jalanan perkampungan untuk menghindari kemacetan. Gerimis masih turun, memaksa keduanya untuk menutup kaca helm-nya.
Ada perasaan lain yang menyusup di ruang hati Deev. Seperti, perasaan bahagia yang kecil tetapi berhasil membuatnya tersenyum. Kopi hitam, hujan, motor vespa klasik, semua itu akan meningatkannya kepada Shakeel sejak detik ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/121611153-288-k157266.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncountable Memories
Teen FictionMenurut kamu, memori itu sebuah hal yang bisa terhitung atau tidak? Shakeel terbiasa hidup dengan memori yang penuh luka. Jika didefinisikan dengan warna, hidupnya yang semula indah seperti ketika warna pelangi disatukan, tiba-tiba menjadi hitam sec...