"Kelemahanku adalah kelebihan sahabatku, kelebihan dariku adalah kehebatannya. Dan jangan pernah lelah mengingatkanku, jika jalanku mulai salah."
♦♦♦
Brukkkk!!!
Tanpa sengaja Aisha menabrak seseorang karena sedang berjalan terburu-buru untuk kembali ke kelas. Aisha kaget bukan kepalang setelah melihat orang yang ia tabrak itu seorang laki-laki dengan perawakan tinggi yang melebihi dirinya.
"Ma-maaf saya tidak sengaja."
Aisha terlihat gugup, ia langsung pergi begitu saja dan meninggalkan laki-laki tersebut. Sementara laki-laki itu masih mematung di tempatnya.
Baginya, ini adalah pertama kali ia menjumpai orang yang sudah tahu berbuat salah namun malah pergi begitu saja. Apakah dia tak merasa bersalah sedikit pun? Apa dia tidak mempunyai rasa malu sehingga hanya meminta maaf dan kemudian menghilang seperti jin?
"Aneh?" kata laki-laki itu dengan nada yang sedikit mengumpat.
***
"Ca, kamu lama banget sih? Untung aja belum masuk," kata Nafisa saat Aisha baru saja duduk di kursi.
"Kamu habis lari maraton ya, Ca? Kok sampe keringetan gitu?" tanya Sazea yang melihat Aisha terengah-engah dan bermandikan peluh.
"Naf, Zea tadi aku nabrak seseorang," kata Aisha sembari mengelap keringatnya menggunakan kertas tisu yang Sazea berikan.
"Innalillahi wa innailaihi rooji'un." mereka berdua kompak menjawab.
"Terus orangnya gimana? Gak apa-apa, kan?" tanya Sazea cemas. Mereka berdua sangat takut jika terjadi sesuatu dengan Ica dan orang yang telah ditabraknya tadi.
"Masuk rumah sakit?" Nafisa memotong pembicaraan Sazea.
"Bukan, bukan itu maksudnya. Tadi pas aku keluar dari toilet kantin, aku nabrak seseorang. Bukan nabrak pake kendaraan Naf, Zea," jelas Aisha merasa sebal.
"Oh, kirain teh emang nabrak, ternyata bukan ya?" kata Nafisa cengengesan.
Aisha hanya memutarkan kedua bola matanya. Bagaimana caranya agar dia bisa menjelaskan pada Nafisa?
Temannya yang satu ini memang terkadang sedikit membuat emosi Aisha dan Sazea naik. Tapi meskipun begitu, mereka tetap menjadi sahabat yang saling melengkapi satu sama lainnya. Hanya kata sabarlah yang selalu ikut mendampingi Aisha saat ia sedang bersama Nafisa.
"Siapa emangnya Ca yang kamu tabrak tadi?" tanya Sazea.
"Laki-laki, Za," jelas Aisha.
Sazea dan Nafisa langsung terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Aisha. "Cieeee Ica." Nafisa tertawa kecil.
"Eh kok malah cie-cie sih, Naf?" kata Sazea memarahi Nafisa. "Terus sekarang kamu udah minta maaf Ca sama dia?"
Aisha mengangguk kecil, dia memang sudah meminta maaf padanya. Lagipula ia tahu kalau dirinya memang salah, makanya ia meminta maaf.
"Oh syukurlah," tutur Sazea. Ia merasa tenang ketika mendapatkan isyarat anggukan kecil dari Aisha.
"Tapi orang itu udah maafin kamu kan, Ca?" tanya Nafisa melanjutkan.
"Astaghfirullah, aku gak tau Naf, Zea." Aisha menggelengkan kepalanya. "Terus sekarang gimana dong? Minta maaf lagi? Aku kan gak kenal sama dia. Masa aku harus ngecek ke semua kelas dan cari dia? Murid di sini kan banyak Zea." Aisha terlihat cemas karena takut belum dimaafkan. Bagaimana jika belum? Sungguh Aisha pasti akan merasa sangat berdosa.
"Mungkin sebaiknya-"
"Naf ada guru, jangan ngegibah terus," ujar siswi yang duduk di belakang Nafisa. Ia memotong pembicaraan Nafisa yang belum selesai.
***
Di luar sana, mungkin matahari tengah berada di peraduannya. Menciptakan beberapa keringat yang jatuh membasahi pakaian setiap manusia.
Hari ini memang terasa begitu sangat panas sekali. Pantas saja, karena saat ini sedang musim kemarau.
Manusia memang tidak pernah bersyukur, jika diberi hujan mereka mengeluh banjir, jika diberi panas mereka mengeluh kekurangan air.
Tapi, saat ini di dalam kelas suasananya jauh berbeda. Berkat beberapa pendingin ruangan yang terpasang, menciptakan kesejukan sendiri bagi penghuninya.
"Apa ada pertanyaan?" tanya guru setelah jam pelajaran usai.
"Saya, Pak."
Aisha mengalihkan pandangannya pada lelaki tersebut, namun tak lama karena ia segera berbalik kembali. Dari meja yang ada di belakangnya, Aisha mendengar ada suara umpatan yang tidak senang jika lelaki itu bertanya.
"Ah, kenapa sih dia malah nanya. Aku kan pengen pulang!" kata siswi yang berada di belakang Aisha. Siswi tersebut mengeluh pada temannya yang juga satu suara dengannya.
Memang, ini adalah jam pelajaran terakhir. Jadi, pasti saja mereka ingin segera pulang dan tidak mau berlama-lama lagi di kelas.
"Siapa Ca?" tanya Sazea pada Aisha.
"Alwi."
"Alwi Assegaf?"
Aisha mengangguk. Ia menggulung senyum ketika memperhatikan wajah serius Alwi. Ah, lelaki ini memang tak bisa pergi dari pikiran Aisha.
Bagaimana mungkin Aisha bisa berhenti mengaguminya sedangkan ia adalah sosok yang pintar, pendiam, 'alim dan yang jelas dia berbeda dengan laki-laki zaman sekarang.
Meskipun begitu, Aisha memang harus menghilangkan rasa yang salah tersebut. Ia tidak berhak. Ini adalah cinta yang salah.
Berulang kali Aisha mencoba untuk menghilangkan rasa dan harapannya pada Alwi, tapi berulang kali juga rasa itu semakin tumbuh dan menjalar ke mana-mana. Hingga Aisha pun kesulitan untuk memangkasnya.
🍁🍁🍁
Tolong tinggalkan jejak bintang kalian 😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta (END)
SpiritualAisha yang diam-diam menyukai temannya sendiri--Alwi, harus rela memendam rasa cinta bertahun-tahun. Hingga pada suatu hari, ia dijodohkan oleh orangtuanya dengan Rey--kakak kelasnya ketika di Madrasah Aliyah. Apakah Aisha akan bertahan dengan pili...