HC 20

8.2K 393 1
                                    

"Ada seseorang dalam hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu."

Tere Liye

Seorang pria yang menyeret sebuah koper besar dan tas hitam yang menempel di punggungnya akhirnya tiba di bandara Soekarno Hatta. Ia mengenakan jaket kulit dan celana kain hitam.

Suasana di bandara kini sangat penuh sesak, orang-orang yang berlawanan arah datang silih berganti ke tempat ini.

Pria itu kini tengah duduk di atas kursi panjang yang disediakan pihak bandara. Dia menempelkan ponsel miliknya di kuping kiri. Sepertinya ia hendak menghubungi keluarga atau kerabatnya.

Tak butuh waktu lama. Seorang wanita paruh baya datang menghampirinya. Ia terlihat menangis haru.

"Alwi," katanya.

Alwi memasukan kembali ponselnya ke dalam jaket lalu berhambur memeluk wanita paruh baya tersebut. Tangisan kebahagiaan luruh diantara mereka.

"Maa syaa Allah, Nak. Ini beneran kamu? Umi pangling banget sama kamu, Nak." Umi terus mengecup pucuk kepala Alwi berkali-kali.

"Alwi kangen Umi," balas Alwi. Tanpa mau melepaskan pelukan, Alwi terus memeluk Uminya sangat lama.

Umi segera melepaskan pelukan Alwi. "Ayo, Nak, yang lain sudah menunggu di dalam mobil. Mereka sangat rindu sama kamu."

Alwi mengangguk, mengikuti langkah Uminya.

Sesampainya di depan mobil yang menjemputnya, Alwi melepas rindu kepada kerabat yang ikut mengantar Umi untuk bertemu dengan Alwi di bandara.

Ini adalah pertemuan yang pertama kali setelah sekian lama berpisah. Setelah ditinggal bertahun-tahun untuk menimba ilmu.

***

Aisha membaringkan tubuhnya di atas kasur. Tiga hari yang lalu ia telah memberikan kepastian pada Rey akan hubungan mereka. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa kini sebentar lagi ia akan menjadi seorang pengantin. Ia akan menjadi istri dari kakak kelasnya dulu–Muhammad Reyhan Al-fatih.

Aisha bangkit dari tidurnya dan memandang pantulan dirinya di cermin. Khimarnya kini berantakan karena ia tadi telah menyentuhkan kepalanya di atas kasur, dengan segera, Aisha kembali merapikan khimarnya. Pandangannya kini teralihkan pada jam berbentuk kotak yang menempel di dinding kamarnya.

"Astaghfirullah, ini mah pasti bakal telat. Kenapa aku bisa sampai lupa, aku harus segera menyelesaikannya. Kalau gak sampai selesai, tamat nasibmu, Ca," tutur Aisha yang merutuki dirinya sendiri.

Seusai tadi shalat duha. Aisha malah membaringkan kembali tubuhnya di atas kasur. Entah terserang virus apa dia sampai rasa malas mulai menyerangnya. Padahal kan sebentar lagi ia akan sidang skripsi.

Setelah selesai mempersiapkan segala keperluannya, Aisha langsung turun ke bawah dan menemui Kak Saif, Umi, Syifa dan Ali di dapur. Sementara Abi sudah berangkat kerja. Masih pagi memang, tapi Abi tidak mau datang terlambat di hari pertamanya kerja.

"Bibi Ica mau ke sekolah? Sama juga dong kayak Ali. Bibi sekolahnya di mana? Ali pengen lihat deh sekolah Bibi kayak gimana, besar apa kecil, Bi? Kalo sekolah Ali mah besar." Ali merentangkan kedua tangannya. Memberikan maksud kalau sekolahnya itu sangat besar, tapi sayang, tangan mungilnya tak mampu mengukur seberapa besarnya sekolah tersebut.

Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang